Makalah Filsafat, tokoh dan aliran epikuroisme


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latarbelakang
Epikurus lahir sekitar 341 S.M di Samos, salah satu pulau di kepulauan Yunani. Pada 300 SM, epikurus mendirikan sekolah filsafat dikota Athena yang kemudian menjadi sangat terkenal. Cakrawala filsafat sendiri sudah bersifat religious.
cakrawala itu diungkapkan dengan bertitik pangkal pada suatu posisi dasar religious, ada suatu pilihan pokok entah mengenai sebuah hukum dunua entah terhadap seorang tuhan yang berpribadi, entah mengenai kebenaran pada umumnya atau mengenai kenyataan yang menggemparkan, entah sambil mempertahankan kedaulatannya entah sambil menyerahkan diri kepada sesuatu yang lain berdaulat. epicurus filosufi harus merintis jalan kearah mencapai kesenangan hidup. Filosufinya dibaginya dalam tiga bagian yaitu logoka, fisika dan etik. Ajaran logikanya menjadi  dasar fisika yang diajarkannya, fisika dasar badi etik.
Epikurus dalam menyebut logika menggunakan istilah kanonika. Logika harus melahirkan norma untuk pengetahuan dan kriteria untuk kebenaran. Berkaitan dengan fisika, pengalaman berkali-kali dapat mengakibatkan pengertian. Pengertian ini dapat membawa orang pada pengetahuan tentang dasar-dasar yang sedalam-dalamnya dan tersembunyi. Epikurus hendak membebaskan manusia dari kepercayaan manusia terhadap dewa-dewa. Dengan ajaran itu diajarkan, bahwa dunia ini bukan dijadikan dan dikuasai oleh dewa-dewa, melainkan digerakkan oleh hukum fisika.

B.     Rumusan Masalah
1.      Aliran dan tokoh epikuroisme?
2.      Apa ciri-ciri aliran epikuros?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Epikuroisme
Epikurus lahir sekitar 341 S.M di Samos, salah satu pulau di kepulauan Yunani. Pada 300 SM, epikurus mendirikan sekolah filsafat dikota Athena yang kemudian menjadi sangat terkenal. Ia secara pribadi sangat dihormati oleh para muridnya sebagai orang yang berkepribadian halus, luhur dan baik hati serta menjalin ikatan persahabatan yang mendalam. Ia hidup dengan sangat sederhana. epikuros meninggal pada 270.
Ia menghidupkan kembali atomisme demokritos. Menurut pendapat Epikuros, segala-galanya terdiri dari atom-atom yang senantiasa bergerak dan secara kebetulan tubrukan sesuatu dengan yang lain. Manusia hidup bahagia  jika ia mengakui susunan dunia ini dan tidak ditakutkan oleh dewa-dewa[1] atau apapun juga. Lagipula, agar hidup bahagia, manusia mesti menggunakan kehendak bebas dengan mencari kesenangan sedapat mungkin. Tetapi terlalu banyak kesenangan akan menggelisahkan batin manusia. Orang bijaksana tahu membatasi diri dan terutama mencari kesenangan rohani, supaya keadaan batin tetap tenang.[2]
Seperti seluruh etika Yunani, begitu pula epikurus mau menunjukkan jalan bagaimana manusia dapat hidup dengan sebahagia mungkin dalam suatu kehidupan yang banyak goncangannya. Dalam situasi politik kerajaan-kerajaan besar. Polis, kota yang bagi Aristoteles adalah arena manusia merealisasikan hakekat sosialnya, tidak punya arti politisi lagi. Orang bijaksana mencari kebahagiaan kecil dengan menghindar dari keresahan dan perasaan yang menyakitkan serta belajar menikmati kesenangan-kesenangan yang menawarkan diri.



Tiadanaya tuhan
Cakrawala filsafat sendiri sudah bersifat religious; artinya,cakrawala itu diungkapkan dengan bertitik pangkal pada suatu posisi dasar religious, ada suatu pilihan pokok entah mengenai sebuah hukum dunua entah terhadap seorang tuhan yang berpribadi, entah mengenai kebenaran pada umumnya atau mengenai kenyataan yang menggemparkan, entah sambil mempertahankan kedaulatannya entah sambil menyerahkan diri kepada sesuatu yang lain berdaulat. Tetapi bila manusia berfilsafat mengenai masalah-masalah dasar kehidupan ia juga dapat sampai pada suatu kesimpulan yang berlainan sama sekali, yaitu pada penyangkalan terhadap agama dan religi
Pada masa klasik Yunani kesimpulan serupa itu misalnya ditarik oleh mazhab epikurus; berlainan dengan mazhab Stoa yang mengajarkan suatu sikap moral yang keras, lepas bebas terhadap dunia, maka epikurisme menjunjung tinggi kesenian untuk hidup secara santai sambil menikmati dunia ini. Filsafat ini melulu mengabdi kepada kenikmatan hidup; aliran ini sampai pada kesimpulan tersebut dengan menerangkan segala kejadian di dunia ini  secara materialistis dan mekanistis. Segala campur tangan dari atas, dari alam transenden, disangkal; manusia tidak perlu takut akan dewa-dewa akan nasibnya di akhirat; para dewa hidup bahagia di sebuah ruang  di sisi alam raya dan tidak mencampuri urusan manusia.[3]   
Berlainan dari Aristoteles, Epikurus tidak mempunyai perhatian terhadap penyelidikan ilmiah. Ia hanya mempergunakan pengetahuan-pengetahuan yang diperolehnya dari hasil penyelidikan ilmu yang sudah dikenal, sebagai alat membebaskan manusia dari ketakutan, yaitu rasa takut kepada dewa-dewa yang ditanam dalam hati manusia oleh agama itulah yang menjadi penghalang besar untuk memperoleh kesenangan hidup.
Menurut pendapat epicurus filosufi harus merintis jalan kearah mencapai kesenangan hidup. Filosufinya dibaginya dalam tiga bagian yaitu logoka, fisika dan etik. Ajaran logikanya menjadi  dasar fisika yang diajarkannya, fisika dasar badi etik.[4]

B.     Ciri – ciri
1.  Logika
Epikurus dalam menyebut logika menggunakan istilah kanonika. Logika harus melahirkan norma untuk pengetahuan dan kriteria untuk kebenaran. Norma dan kriteria itu diperoleh dari pandangan. Semua yang kita pandang itu adalah benar. Dan pandangan menurut epikurus bukan hanya yang kita lihat dengan mata, melainkan juga fantasi dan gambaran dalam angan-angan. Segala macam pandangan itu adalah benar, benar dalam jiwa orang yang memandang. Menurut pendapat ini, apa yang rasa terpandang oleh seorang orang gila dalam dugaannya adalah benar. Sesuai dengan pendapat Demokritosia mengatakan, bahwa pandangan itu tidak lain dari cekatan atau gambaran barang yang sudah ada. Apa yang tampak, yang kita lihat, adalah barang-barang yang sudah di alam, barang-barang yang mempunyai realita. Atom-atom yang bergerak dari barang-barang itu menyentuh atom mata kita. Karena itu barang itu tampak olek kita. Jadinya pandangan kita tak lain dari gambaran atau reproduksi dari barang-barang yang dilihat dahulu itu membayang kembali dalam ingatan kita, yang sesuai dengan pandangan dan pengertian tentang kenyataan yang lahir, adalah benar atau salah, apabila benar atau salahnya dinyatakan oleh pandangan berulang-ulang dilakukan. Dan perasaan kita, seperti senang dan sedih, adalah juga ukuran, kriteria. Rasa enak adalah nilai yang setinggi-tingginya, yang menentukan baik atau jahat.
Epikurus tak suka kepada teori-teori tentang bentuk pengertian dan isi pengetahuan. Ia menolak segala macam metode untuk menyatakan kebenaran yang menurut logikanya tidak dapat disangkal. Ia tidak mau tahu tentang silogisme yang begitu cerdas disusun oleh aristoteles. Semua itu tidak perlu, karena dalil-dalil itu tidak dapat menggantikan pemandangan yang diperoleh dari pengalaman. Pandangan adalah kriterium yang setinggi-tingginya untuk mencapai kebenaran. Logikanya tidak menerima kebenaran sebagai hasil pikiran kebenaran hanya dicapai dengan pemandangan dan pengalaman.[5]

2.  Fisika
Sumber pengetahuan menurut epikurus ialah pengalaman: pengalaman berkali-kali dapat mengakibatkan pengertian. Pengertian ini dapat membawa orang pada pengetahuan tentang dasar-dasar yang sedalam-dalamnya dan tersembunyi. Adapun dasar sedalam-dalamnya bagi semua hal itu dinamainya atom. Atom ini terlalu kecil dan tak tercapai oleh indra. Karena geraknya maka terjadilah bermacam-macam benda di dunia ini sekali-kali tak ada hubungannya dengan dewa-dewa.
Jiwa manusia itupun benda juga, tetapi halus, itulah sebabnya maka manusia dapat mencapai pengertian, karena jiwa menerima sinar dari benda lainnya semacam dengan dia. Jiwa tak mungkin tanpa badan, daripada itu tak mungkin ada hidupsesudah badan itu tak ada.[6]    

3.  Etika  
Etika berasal dari kata yunani ethos dan ethiko. Ethos berarti sifat, watak, kebiasaan. Ethikos berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan tingkah laku yang baik.[7]
Dari ajaran fisika, Epikurus hendak membebaskan manusia dari kepercayaan manusia terhadap dewa-dewa. Dengan ajaran itu diajarkan, bahwa dunia ini bukan dijadikan dan dikuasai oleh dewa-dewa, melainkan digerakkan oleh hukum fisika. Jiwa manusia tidak terus hidup sesudah mati, dan karena itu tidak pula menderita siksa dalam tanah dan di langit. Dunia tidak satu saja, melainkan tidak terbilang banyaknya. Dunia-dunia itu timbul seperti jiwa manusia timbul, demikian pula lenyapnya.
Manusia hidupnya tidak bahagia karena terganggu oleh 3 hal: takut akan amarah dewa, takut akan mati dan takut akan nasib.
a.  Pertama kita tidak perlu takut akan amarah dewa, karena akan segala sesuatu di dunia ini hanya sebab gerak atom bukan karena dewa. Jika sekiranya dewa itu ada, maka ia akan hidup di dunia sendiri dan berusaha untuk tenang dan bahagia sendiri. Sekiranya dewa harus marah karena tingkah laku manusia, akan celakanya hidup dewa itu karena harus selalu marah-marah saja.
b. Kedua terhadap matipun manusia tak usah takut, jiwa kitapun akan turut mati, sebab tanpa badan, tak ada pula jiwa. Habis hidup ini tak ada lanjutannya bagi manusia. Maut malah akan melepaskan manusia dari sakit dan sengsara.
c. Ketiga kepada nasibpun kita tak usah takut. Segala kejadian di dunia ini ditentukan oleh atom. Bagaimanapun kita tak bisa merubahnya. Maka tak ada alasan untuk takut kepada nasib.
Segala nafsu dan cenderung manusia itu terarahkan  pada kebahagiaan. Itu tidak berarti segala nafsu diikuti saja, sebab nafsulah yang mengakibatkan kesengsaraan. Maka dari itu haruslah nafsu itu diatur. Mengatur nafsu itulah kebijaksanaan.[8]














KESIMPULAN

Berfilsafat kerap dianggap kegiatan yang hanya dilakukan para arif bijaksana. Olah pikir hampir selalu dihubungkan dengan para cerdik cendkia, kaum terpelajar, dan mereka yang punya waktu luang. Orang awam, atau rakyat kebanyakan, seolah-olah sama sekali tidak berfilsafat. Mereka dianggap kurang berpikir.
Hal itu bisa dimaklumi, terutama jika diungkit asal-usul dan sejarah filsafat. Pada zaman yunani kuno, kegiatan berfilsafat hanya dilakukan kaum elite tertentu. Para ahli piker (filsuf) saat itu menggunakan seluruh daya dan kemampuannya untuk mencoba menerangkan berbagai fenomena. Mereka heran akan gejala alam, mereka bertanya-tanya mengenai asal-usul segala sesuatu. Mereka juga menggugat apa yang oleh umun dianggap sebagai hakikat. Mereka merenungkan segala peristiwa lalu mencari tali-temali serta menyinpulkan.

















DAFTAR PUSTAKA
Surajiyo, 2007. Filsafat Ilmu Dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika Offset.
Kanisius,1975. Ringkasan Sejarah Filsafat, Jogjakarta, Kanisius (Anggota IKAPI).
Hartoko Dick, 1980. Orientasi Di Alam Filsafat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
AM Suhar, 2009. Filsafat Umum, Jakarta, Gaung Persada Press.
Poedjawijatna, 2005. Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Jakarta, PT Rineka Cipta.
Esha In’am Muhammad, 2010 Menuju Pemikiran Filsafat, Malang, UIN-MALIKI press.


[1] Surajiyo, Filsafat Ilmu Dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika Offset 2007. Hal 84
[2] Kanisius, Ringkasan Sejarah Filsafat, Jogjakarta, Kanisius (Anggota IKAPI) 1975, hal 17
[3] Hartoko Dick, Orientasi Di Alam Filsafat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1980, hal 113-114 
[4] AM Suhar, Filsafat Umum, Jakarta, Gaung Persada Press, 2009, hal 188
[5] Ibid, hal 189-190
[6] Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2005, hal 43
[7] Esha In’am Muhammad, Menuju Pemikiran Filsafat, Malang, UIN-MALIKI press, 2010, hal, 126
[8] Ibid, hal 44

Penulis : (syariah) hukum keluarga ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel Makalah Filsafat, tokoh dan aliran epikuroisme ini dipublish oleh (syariah) hukum keluarga pada hari Jumat, 20 Februari 2015. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 1komentar: di postingan Makalah Filsafat, tokoh dan aliran epikuroisme
 

1 komentar:

  1. The casino site review
    Welcome to the luckyclub site with free slot games and a huge luckyclub bonus! The website is full of free slot games, so if you like one, you can register for a

    BalasHapus