Makalah IAD, ISD, IBD

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Peradaban atau dalam istilah arab disebut (hadlarah) adalah sekumpulan konsep (mafahim) tentang kehidupan. Peradaban bisa berupa peradaban spiritual ilahiyah (diiniyyah ilahiyyah) atau peradaban buatan manusia (wadl’iyyah basyariyyah). Peradaban spiritual ilahiyah lahir dari sebuah ideologi (‘aqidah), sebagaimana peradaban Islam yang lahir dari aqidah Islamiyah. Sedangkan peradaban buatan manusia muncul dari sebuah ideologi.
seseorang atau sekelompok manusia bisa jadi memeluk suatu agama sekaligus mengikuti ideologi tertentu, karena agama tersebut tidak memiliki konsep yang menyeluruh tentang kehidupan, Orang-orang tersebut menganut konsep-konsep kehidupan yang membentuk peradaban mereka, sekalipun konsep-konsep tersebut tidak berhubungan dengan agama mereka. Dengan demikian, peradaban mereka bukan merupakan peradaban ilahiyah, sekalipun pada faktanya mereka memeluk suatu agama.
Agama dalam keaneka ragamannya yang hampir tidak dapat dibayangkan itu memerlukan deskripsi (penggambaran) dan bukan defenisi (batasan). Agama adalah gejala yang begitu sering “terdapat dimana-mana” sehingga sedikit membantu usaha-usaha kita untuk membuat abstraksi ilmiah.
Beribadah bersama-sama memakai lambang-lambang keagamaan telah mempersatukan kelompok-kelompok manusia dalam ikatan yang paling erat, akan tetapi perbedaan agama telah membantu timbulnya beberapa pertentangan yang paling hebat diantara kelompok-kelompok itu. Ibadah keagamaan dihiasi dengan keindahan seni tetapi juga berjalan dengan baik dalam kehidupan yang sederhana sekalipun.




B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah Pengertian Kebudayaan, Peradaban dan Agama?
2.      Bagaimana Keterkaitan Peradaban dengan Agama?

C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk Mengetahui Pengertian Peradaban dan Agama.
2.      Untuk Mengetahui Keterkaitannya Peradaban dengan Agama.

























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kebudayaan, Peradaban dan Agama
1.      Kebudayaan
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhaya, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Dapat juga diartikan sebagai mengolah tanah atau juga bertani. Kata Culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
Istilah budaya (culture) yang dimasukkan kedalam konsep masing-masing disiplin humaniora dan sosial, merupakan kajian disiplin ilmu lain yang terlebih dahulu mendefinisikan istilah budaya adalah antropologi, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Menurut para ahli definisi budaya adalah sebagai berikut[1]:
a.       Cilfford Geertz memberikan definisi kebudayaan adalah “suatu sistem makna dan simbol yang disusun dalam pengertian dimana individu-individu mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan peniaian-penilaiannya; suatu pola makna yang ditrasmisikan secara historic, diwujudkan di dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana dimana orang-orang mengkomunikasikan, mengabadikan dan mengembangkan pengetahuan dan sikap-sikapnya kearah kehidupan; suatu kumpulan peralatan simbolik untuk mengatur perilaku, sumber informasi yang ekstrasomatik”. 
b.      Koentjaraningrat memberikan definisi budaya sebagai sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar[2].
c.       James Spradley nampaknya hamper sependapat dengan Koenjtaraningrat, ia mengatakan budaya merupakan sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar, yang kemudian mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunia sekelilingnya, sekaligus untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekitar[3]
2.      Peradaban
Peradaban adalah memiliki berbagai arti dalam kaitannya dengan masyarakat manusia. Seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk pada suatu masyarakat yang "kompleks": dicirikan oleh praktik dalam pertanian, hasil karya dan pemukiman, berbanding dengan budaya lain, anggota-anggota sebuah peradaban akan disusun dalam beragam pembagian kerja yang rumit.
 Istilah peradaban sering digunakan sebagai persamaan yang lebih luas dari istilah "budaya" yang populer dalam kalangan akademis. Dimana setiap manusia dapat berpartisipasi dalam sebuah budaya, yang dapat diartikan sebagai "seni, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, nilai, bahan perilaku dan kebiasaan dalam tradisi yang merupakan sebuah cara hidup masyarakat". Namun, dalam definisi yang paling banyak digunakan, peradaban adalah istilah deskriptif yang relatif dan kompleks untuk pertanian dan budaya kota.
Dalam artian yang sama, peradaban dapat berarti "perbaikan pemikiran, tata krama, atau rasa". masyarakat menurut kodratnya, manusia adalah masyarakat. Manusia selalu hihup bersama dan berada diantara manusia yang lainnya. Dalam bentuk kongkretnya, manusia bergaul, berkomunikasi dan berinteraksidengan manusia lain. Keadaan ini terjadi karena dalam diri manusia terdapat dorongan diri untuk hidup bermasyarakat disamping dorongan keakuan. Dorongan bermasyarakat dan dorongan keakuan yang mendorong manusia bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri[4].
Istilah peradaban sendiri sebenarnya bisa digunakan sebagai sebuah upaya manusia untuk memakmurkan dirinya dan kehidupannya. Maka, dalam sebuah peradaban pasti tidak akan dilepaskan dari tiga faktor yang menjadi tonggak berdirinya sebuah peradaban. Ketiga faktor tersebut adalah sistem pemerintahan, sistem ekonomi, dan IPTEK.
3.      Agama
Agama merupakan suatu lembaga atau institusi yang mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya. Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa di luar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga.
 Manusia diciptakan allah sebagai makhluk relegius artinya pada diri manuasia terdapat keyakinan akan adanya dzat yang maha kuasa. Manusia diciptakan Allah mempunyai fitrah beragama. Sebagai manusia yang beragama maka manusia menjadiakan agama sebagai pegangan hidup. Kitab suci yang dimiliki agama dijadikan sebagai garis-garis besar haluan dalam menata dan mengisi hidup. Dalam kaitannya dengan berbudaya, agama memberi pedoman kepada masing-masing individu dalam masyarakat bagaimana berbudaya yang sesuai dengan tuntunan agama[5]
Dalam pengertian agama terdapat tiga unsur, ialah: manusia, penghambaan dan Tuhan.  Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama. Lebih luasnya lagi, agama juga bisa diartikan sebagai jalan hidup. Yakni bahwa seluruh aktivitas lahir dan batin pemeluknya diatur oleh agama yang dianutnya. Bagaimana kita makan, bagaimana kita bergaul, bagaimana kita beribadah, dan sebagainya ditentukan oleh aturanatau tata cara agama.

B.     Keterkaitan Peradaban dengan Agamas
Peradaban atau dalam istilah arab disebut (hadlarah) adalah sekumpulan konsep tentang kehidupan. Peradaban bisa berupa peradaban spiritual ilahiyah (diiniyyah ilahiyyah) atau peradaban buatan manusia (wadl’iyyah basyariyyah). Peradaban spiritual ilahiyah lahir dari sebuah ideologi (‘aqidah) manusia, sebagaimana peradaban Islam yang lahir dari aqidah Islamiyah. Sedangkan peradaban buatan manusia muncul dari sebuah ideologi manusia itu sendiri, seperti misalnya peradaban kapitalis Barat, yang merupakan sekumpulan konsep tentang kehidupan yang muncul dari ideologi sekularisme. Peradaban semacam ini bisa pula tidak berasal dari sebuah ideologi, semisal peradaban Yunani, Babilonia, dan Mesir Kuno. Peradaban-peradaban tersebut sekedar merupakan sekumpulan konsep yang disepakati sekelompok manusia, sehingga menjadi sebuah peradaban yang bersifat kebangsaan.
Selain itu, seseorang atau sekelompok manusia bisa jadi memeluk suatu agama sekaligus mengikuti ideologi tertentu, karena agama tersebut tidak memiliki konsep yang menyeluruh tentang kehidupan, seperti agama Nasrani atau Budha. Orang-orang tersebut menganut konsep-konsep kehidupan yang membentuk peradaban mereka, sekalipun konsep-konsep tersebut tidak berhubungan dengan agama mereka. Dengan demikian, peradaban mereka bukan merupakan peradaban ilahiyah, sekalipun pada faktanya mereka memeluk suatu agama. Oleh karena itu, berbagai kelompok manusia dari berbagai agama dan bangsa seperti orang Jepang, Hindu, dan Prancis bisa jadi mempunyai satu peradaban. Bangsa dan agama mereka berbeda, tetapi peradaban mereka hanya satu, yaitu kapitalisme.[6]
Aqidah Islam sama sekali berbeda dengan ideologi Barat yang berlandaskan asas kompromi dan pemisahan agama dari kehidupan. Peradaban Islam menjadikan halal dan haram sebagai ukuran, sedangkan peradaban Barat menjadikan manfaat sebagai timbangan setiap perbuatan. Demikian pula, makna kebahagiaan dalam peradaban Islam adalah mencari keridlaan Allah, sementara kebahagiaan dalam perspektif Barat adalah kenikmatan duniawi.
Agar kaum Muslimin sadar sepenuhnya mengenai hal-hal yang boleh diambil dan tidak boleh diambil, maka perlu dilakukan pemisahan antara peradaban dengan madaniyyah, serta pembedaan antara madaniyyah yang dihasilkan konsep-konsep kehidupan tertentu dengan madaniyyah yang murni berasal dari “ilmu pengetahuan dan teknologi”.
A.    Ilmu Pengetahuan
Ilmu Pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.[7]
B.     Konsep Teknologi
1.      Pengambilan Keputusan
a.       Model
b.      Kriteria (Persyaratan atau Tujuan)
c.       Pembatas
d.      Optimasi
2.      Sistem
Sistem adalah suatu objek atau peristiwa yang terdiri atas rangkaian bagian yang merupakan suatu kesatuan dan saling berinteraksi secara fungsional, dan memperoses suatu masukan menjadi keluaran.
3.      Umpan Balik
Untuk berlangsungnya kerja suatu sistem dan pengaturan keluaran, diperlukan terlaksananya kontrolyang mencakup monitoring dan koreksi. Dengan kata lain, diperlukan umpan balik[8].
Telah dikatakan bahwa peradaban adalah sekumpulan konsep tentang kehidupan; bisa berupa peradaban spiritual ilahiyah (diiniyyah) dan bisa pula berupa peradaban buatan manusia. Contoh peradaban diiniyyah adalah peradaban Islam, sedangkan contoh peradaban buatan manusia adalah peradaban India atau peradaban Barat. Keberadaan peradaban-peradaban tersebut merupakan suatu hal yang pasti dan menjadi fakta yang terbantahkan. Demikian pula, perbedaan di antara peradaban-peradaban itu merupakan suatu fakta yang tidak bisa diingkari, kecuali oleh para pendusta.
 Mungkin ada yang bertanya, mengapa digunakan istilah hadlarah untuk menyebut sekumpulan konsep kehidupan dan istilah madaniyyah untuk bentuk-bentuk fisik, dan mengapa bukan sebaliknya? Secara lughawi, hadlarah adalah tempat tinggal di suatu wilayah yang beradab (seperti kota), sedangkan al-hadhir adalah orang-orang yang tinggal di “kota-kota dan desa-desa”.
A.    Kota
Beberapa ahli mengatakan kota sebagai suatu himpunan penduduk yang bertempat tinggal didalam pusat kegiatan ekonomi, pemerintahan, kesenian, ilmu pengetahuan, dan sebagainya.
B.     Agraris (desa)
Desa adalah suatu hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok manusia dan lingkungannya. Hasil dari perpaduan itu merupakan suatu wujud atau kenampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis, sosial, ekonomi dan kultural yang saling berinteraksi antar unsur tersebut dan juga hubungannya dengan daerah-daerah lain[9].   
Sumber peradaban diiniyyah menurut para penganutnya adalah wahyu, sedangkan sumber peradaban buatan manusia adalah orang-orang yang sepakat dengan konsep-konsepnya. Hal ini saja cukup untuk memisahkan dan membedakan kedua macam peradaban ini. Bahkan sekalipun kemudian nampak berbagai bentuk kesamaan konsep, yang terjadi bukan karena adanya suatu kesepakatan atau kesamaan pemikiran. Ini disebabkan karena peradaban ketika diambil atau diikuti harus diambil sekaligus dengan landasan darimana ia berasal atau landasan tempat ia dibangun.
Jadi bila landasan kedua peradaban berbeda, maka adanya kesamaan sejumlah konsep atau kemiripan beberapa konsep tentang kehidupan, menjadi perkara yang tidak perlu diperhatikan. Hal ini disebabkan karena konsep hanya merupakan cabang dari landasannya, dan ia tidak dapat diambil kecuali dengan landasannya. Baik peradaban Islam maupun peradaban Barat membolehkan orang memakan ikan, mengenakan pakaian dari bahan wol, memiliki harta pribadi, menjadikan wanita sebagai wakil umat, mengoreksi penguasa, dan meminum obat.
Namun demikian, hal-hal tersebut serta segala sesuatu yang mirip dengannya tidak dianggap sebagai bagian dari peradaban Islam, kecuali hal-hal tersebut berasal dari wahyu Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad SAW, atau dengan kata lain berasal dari syariat. Sementara hal-hal yang sama diambil oleh peradaban Barat semata-mata karena adanya kepentingan (maslahat) atau karena disukai oleh pikiran para penganutnya. Bila seorang muslim mengambil hal-hal tersebut semata-mata karena adanya kepentingan atau karena pertimbangan rasionalnya, maka ia tidak dianggap menganut peradaban Islam.

























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Peradaban adalah memiliki berbagai arti dalam kaitannya dengan masyarakat manusia. Istilah peradaban sering digunakan sebagai persamaan yang lebih luas dari istilah "budaya" yang populer dalam kalangan akademis. Dimana setiap manusia dapat berpartisipasi dalam sebuah budaya, yang dapat diartikan sebagai "seni, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, nilai, bahan perilaku dan kebiasaan dalam tradisi yang merupakan sebuah cara hidup masyarakat". Dalam artian yang sama, peradaban dapat berarti "perbaikan pemikiran, tata krama, atau rasa".
Agama merupakan suatu lembaga atau institusi yang mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya. Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa di luar dirinya.
Agama merupakan suatu lembaga atau institusi yang mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya. Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa di luar dirinya.
seseorang atau sekelompok manusia bisa jadi memeluk suatu agama sekaligus mengikuti ideologi tertentu, karena agama tersebut tidak memiliki konsep yang menyeluruh tentang kehidupan, Orang-orang tersebut menganut konsep-konsep kehidupan yang membentuk peradaban mereka, sekalipun konsep-konsep tersebut tidak berhubungan dengan agama mereka. Dengan demikian, peradaban mereka bukan merupakan peradaban ilahiyah, sekalipun pada faktanya mereka memeluk suatu agama.


DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku;
IAIN Sunan Ampel, ilmu alamiah dasar, ilmu social dasar, ilmu budaya dasar (IAD, ISD. IBD), Surabaya : IAIN SA Press, Agustus 2011.
IAIN Sunan Ampel, ilmu alamiah dasar, ilmu social dasar, ilmu budaya dasar (IAD, ISD. IBD), Surabaya : IAIN SA Press, Agustus 2012.
Drs. Mawardi-Ir. Nur Hidayati, ilmu alamiah dasar, ilmu social dasar, ilmu budaya dasar (IAD, ISD. IBD), Bandung : CV Pustaka Setia, 2009.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 1990) 180.

Sumber Internet;
http://id.m.wikipedia.org/wiki/ilmu
http://syariahpublication.com/2006/10/28/definisi-peradaban-hadlarah.





[1] IAIN Sunan Ampel Surabaya, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar (Surabaya: IAIN SA Pres, 2012), 152.
[2] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 1990) 180.
[3] IAIN Sunan Ampel Surabaya, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar (Surabaya: IAIN SA Pres, 2012), 153.
[4] Mawardi dan Nur Hidayati, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Budaya Dasar, Ilmusosial dasar (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 217.
[5] IAIN Sunan Ampel Surabaya, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar (Surabaya: IAIN SA Pres, 2012), 208.

[6] http://syariahpublication.com/2006/10/28/definisi-peradaban-hadlarah.
[7] http://id.m.wikipedia.org/wiki/ilmu
[8] Mawardi dan Nur Hidayati, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Budaya Dasar, Ilmusosial dasar (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 108.
[9] Mawardi dan Nur Hidayati, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Budaya Dasar, Ilmusosial dasar (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 191-194.
 

Makalah akhlaq tasawuf, Al-maqomat

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pada dasarnya dalam konsep-konsep maqamat dan ahwal memperkenalkan bagian dari pemahaman tasawuf itu sendiri sebagai dimana dimaknakan suatu perjalanan spiritual suluk. Dalam hal ini, MAQAMAT adalah tempat-tempat sebagai perhentian yang harus dilewati oleh para sufi atau pejalan spiritual sebelum bisa mencapai akhir perjalanan tersebut, baik itu yang disebut ma’rifah, ridha, maupun mahabbah (kecintaan) kepada Allah SWT. Sedangkan yang disebut dengan  Ahwal adalah keadaan-keadaan spiritual sesaat yang dialami oleh para pejalan atau sufi ini ditengah-tengah perjalanan tersebut.
Tujuan yang mendasar dari perkuliahan mata kuliah Tasawuf ini adalah diharapkan agar mahasiswa dapat memahami apakah pengertian dari Tasawuf tersebut, dan dapat mengetahui pula bagaimana perkembangannya dari dahulu hingga sekarang, serta mampu merasakan manfaat sebenarnya dan tujuan dari mempelajari Tasawuf itu sendiri.
Dan tujuan khusus dalam pembuatan makalah ini diharapkan agar mahasiswa  tersebut mampu dan mengerti dalam menyebutkan definisi Maqamat dan Ahwal , Maqamat dan Ahwal dimata para tokoh Tasawuf serta sejarah perkembangan Tasawuf.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Maqamat dan Ahwal?
2.      Bagaimana tahapan-tahapan Maqamat dan Ahwal?

C.    Tujuan pembahasan
1.      Untuk Mengetahui Pengertian Maqamat dan Ahwal.
2.      Untuk Mengetahui Tahapan-Tahapan Maqomat dan Ahwal.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Maqamat dan Al-ahwal
1.      Pengertian Maqamat
Secara harfiah Maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah.
Dalam bahasa inggris Maqamat dikenal dengan istilah stages yang artinya tangga. Sedangkan dalam ilmu tasawuf maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui Riyadhah, Ibadah, maupun mujahadah.
2.      Pengertian Ahwal
Secara Bahasa Al Ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan atau sesuatu (keadaan rohani). Hal adalah sesuatu yang terjadi yang mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak bertahan lama.
Pada Istilah Maqam atau arti jamak adalah maqamat , sebagaimana juga ahwal, yang dipahami berbeda menurut para sufi. Namun semuanya sepakat dalam memahami maqamat yang berarti kedudukan seorang pejalan spiritual atau sufi di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam beribadah kepadanya, bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu (mujahadah), serta latihan-latihan keruhanian budi pekerti (adab) yang dapat membuatnya memiliki syarat - syarat dalam melakukan usaha - usaha untuk menjalankan berbagai kewajiban dengan baik dan mendekati sempurna.
Sedangkan hal atau arti jamak adalah ahwal adalah suasana atau keadaan yang menyelimuti kalbu, yang diciptakan sebagai hak prerogatif pada Allah dalam hati setiap hambanya, tidak ada sufi yang mampu merubah keadaan tersebut apabila datang saatnya, atau memperhatikannya apabila pergi.
Meskipun pengertian dari Maqamat dan Ahwal ini pada dasarnya merupakan suatu kesepakatan atau persetujuan para kaum sufi, mereka tentu saja adalah hasil ijtihad dan juga bukan dari bagian kepastian-kepastian dalam aturan Islam qath’iyyat.
Intinya adalah, macam-macam pengertian ini diperkenalkan dengan maksud sebagai bagian dari pentingnya disiplin dalam tasawuf, yang tujuan perjalanan spiritual, baik itu pemahaman tentang Allah, keridhaanya, cintanya dapat dicapai.

B.    Maqamat dan Al-ahwal dalam Tasawuf,
1.      Macam-Macam Maqamat
Dari beberapa pendapat tentang Maqamat disini para sufi berbeda pendapat, para sufi sepakat bahwa maqamat itu ada tujuh Taubat, Wara’, Zuhud, Faqr, Sabar, Ridha Dan Tawaka. Penjelasan semua tingkatan itu sebagaimana berikut:
a.       Taubat
Taubat dalam bahasa arab yang berarti “kembali” atau “kembali”, sedangkan taubat bagi kalangan sufi memohon ampunan atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan berjanji dengan sunguh-sunguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.
Berkaitan dengan maqam taubat, dalam al qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan masalah ini. Yaitu firman Allah (Q.S. Ali Imran, 3:135) dan (Q.S An nur, 24:31)
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
... Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Q.S An nur, 24:31)

b.      Wara’
Secara harfiah al wara’ artinya soleh, kata wara’ mengadung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dalam pengertian sufi wal wara’ adalah meninggalkan yang didalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (Syubhat). Ini sejalan dengan (H.R. Bukhori),
“barang siapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah bebas dari yang haram”.

c.       Zuhud
Secara harfiah zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia.
Kehidupan yang sederhana yang di contohkan Rosulullah, Khulafaur Rosidin maupun para sahabat lainya terutama ashabussuffah dengan kondisi merka serba kekurangan tetap mampu menjaga kehormatan dengan tidak meminta, sehingga Allah mengutuk hati kaum muslimin untuk memberikan kepada mereka nafkah.
d.      Faqr
Faqr dapat berarti sebagian kekurangan harta dalam menjalani kehidupan di dunia. Sikap faqr penting dimiliki oleh orang yang berjalan di jalan Allah,karena kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan manusia lebih dekat pada kejahatan, dan sekurang-kurangnya membuat jiwa tertambat pada selain Allah. Faqr adalah orang yang tidak butuh dunia hanya mementingkan akhirat. Secara harfiah Faqr biasa diartikan sebagai orang yang tidak butuh dunia.
e.       Al Ridha
Secara harfiah ridho, suka. Harun nasution mengatakan ridho, tidak menentang kada dan kadar Allah. Manusia biasanya suka menerima keadaan yang menimpa seperti miskin, kerugian. Kehilangan.
disini maqomat dalam sikap ridho melatih diri kita untuk menerima keadaan kita. Bagaimanapun itu, Sebagimana hadits qudsi, nabi mengaskan. “sungguh aku ini Allah. Tiada Tuhan Selain Aku. Barang siapa yang tidak sabar atas coba’anku, tidak bersyukur atas nikmatku serta tidak rela atas keputusanku maka ia keluar dari kolong langit dan cari tuhan selain aku.



f.       Sabar
Dalam kalangan sufi sabar diartikan sebagai sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dan menjauhi segala larangan Allah, dan menerima segala cobaan yang ditimpanya, dsb.
Sebagaiman dalam firman Allah  (Q.S. Al Nahl, 16:127), dan (Q.S. al-Ahqof, 46:35)Yang berbunyi:
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ...   
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. (Q.S. al-Ahqof, 46:35)

g.      Tawakal
tawakal tempatnya dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakal yang terdapat dalam hati itu.tawakal adalah menyerahkan kepada ketetapan Tuhan, selamanya dalam keadaan tentram. Jika dapat pemberian berterima kasih, bila mendapat apa-apa bersikap bersabar  dan menyerahkan kepada qodho dan qhodarnya Allah.

2.      Ahwal dalam Tasawuf
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi diatas, maka ahwal tidak ada perbedaan, yang pada intinya ahwal adalah keadaan rohani seseorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Ahwal berbeda dengan maqam, ahwal tidak menentu datangya, terkadang datang dan pergi begitu cepat, yang disebut lawaih dan ada pula datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih, jika maqam di peroleh melalui usaha, sedangkan ahwal diperoleh tidak melalui usaha, akan tetapi rahmat dan anugrah dari Allah. Maqam sifatnya permanen, sedangkan hal sifatnya temporer.
Dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat dikalangan kaum sufi. Adapun akhwal yang paling banyak disepakati adalah; al-muroqobah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’minah, al musyahadah dan al yaqin.


a.       al-muroqobah
Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya.
Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya.
Kehati-hatian adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.
b.      al-khauf
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang kepadanya.
Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat, diantaranya adalah:
1)      Tingkatan Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita, perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
2)      Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena karena membuat manusia tidak bisa beramal.
3)      Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji.
c.       ar-raja’
Menurut kalangan kaum sufi, raja’ dan khauf  berjalan seimbang dan saling mempengaruhi. Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme, yaitu perasaan senang hati menaati sesuatu yang diinginkan dan disenangi.
Orang yang harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapan benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya angan-angan, sementara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia.
Setiap orang yang berharap adalah juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Dan karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula orang yang berharap ridha atau ampunan Tuhan, diiringi dengan rasa takut akan siksaan Tuhan.
d.      ath-thuma’minah
Thuma’minah adalah rasa tenang, tidak was-was atau khawatir. Seseorang yang telah mencapai thuma’minah, ia telah kuat akalnya, kuat imanya dan ilmunya serta bersih ingatanya.
e.       Al Usn
Dalam pandangan sufi Usn adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi, dalam keadaan sperti ini sufi merasa tidak ada yang dirasakan, tidak ada yang di ingat, kecuali Allah.
Seseorang yang merasakan Ush dibedakan menjadi tiga kondisi.
1)      hamba yang suka merasakan suka cita berzikir menginggat Allah dan merasakan gelisa disaat lalai.
2)      seorang hamba yang senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan hati, dsb.
3)      kondisi yang tidak melihat lagi suka cita karena adanya wibawa kedekatan kemuliaan dan mengagungkan disertai dengan suka cita.
f.       al musyahada
Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Seorang sufi bila sudah mencapai musyahadah apabila sudah bisa merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada dalam hatinya dan seorang sudah tidak menyadari segala apa yang telah terjadi, segalanya tercurah pada yang satu yaitu Allah. Dalam keadaan seperti itu seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, dimana seorang sufi seakan akan menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya tersebut maka timbul rasa cinta kasih.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Secara harfiah Maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah. Sedangkan Secara Bahasa Al Ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan atau sesuatu (keadaan rohani). Hal adalah sesuatu yang terjadi yang mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak bertahan lama
2.      Dari beberapa pendapat tentang Maqamat disini para sufi berbeda pedapat ada yang mengatakan tujuh, delapan dan sempulu aka tetapi para sufi sepakat bahwa maqamat itu ada tujuh: Taubat, Wara’, Zuhud, Faqr, Sabar, Sabar, Tawaka, karena dalam macam ada yang sudah masuk dalam ahwal (hal), sedangkan hal sediri di bagi menajadi enam: al musyahada, Al Usn, ath-thuma’minah, ar-raja’, al-khauf, al-muroqobah


















Daftar Pustaka

Abdul Rahman, Roli, dkk, Menjaga Akidah Akhlak, Solo : PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009.
                        Junaidi Hidayat, dkk, Ayo Memahami Akidah dan Akhlak kurikulum 2006, Jakarta : Erlangga, 2008.