BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hisbah
merupakan sebuah kata yang saya yakin agak ganjil bagi sebagian besar
masyarakat indonesia. Walaupun sebagian penduduknya sebagian besar mayoritas
beragama islam. Hisbah adalah sebuah kata yang tak asing tersengar di barat
indonesia, yaitu tepatnya didaerah Aceh dan berbagai negara islam lainya.
Hisbah sendiri merupakan sebuaah instuisi keagamaan dibawah kendali
pemerintahan yang mengawasi masyarakat agar menjalankan kewaajibanya dengan
baik. Tujuan umumnya adalah untuk menjaga lingkungan masyarakat dari kerusakan
dan memastikan kesejahteraan masyarakat baik dalam hal keagamaan atau tingkah
laku sehari-hari dengan hukum allah.
Upaya negara
untuk menjamin kemaslahatan, keadilan dan permainan jujur disemua lini
kehidupan direfleksikan dalam institusi hisbah. Tujuan dibalik hisbah tidak
hanya memungkinkan pasar dapat beroperasi dengan bebas sehingga harga, upah dan
laba dapat ditentukan oelh kekuasaan permintaan dan penawaran (yangbterjadi
dinegara kapitalis), melainkan juga untuk menjamin bahwa semua agen ekonomi
dapat memenuhi tugasnya antara satu dengan yang lain dan mematuhi ketentuan
syariat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian hisbah?
2. Sejarah hisbah?
3. Wewenang hisbah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Di banyak negara Islam sangatlah lemah dalam
menegakkan hisbah. Sedikit sekali, pemerintahannya yang sungguh-sungguh
menegakkan hisbah, karena mereka tidak mempraktekkan syariah Islam. Menegakkanh
hisbah sangatlah penting bagi kehidupan ini, karena keberlangsungan kehidupan
ini hanya dapat dipertahankan dengan adanya hisbah. Berangkat dari hal tersebut dan seiring upaya mempercepat pelaksanaan
Syariat Islam pemerintah mengangkat petugas khusus yang akan membantu jalannya
syariat Islam yang di berinama Wilayatul Hisbah.
Para ulama mempunyai beberapa difinisi tentang
hisbah, antara lain, yang ditulis oleh Imam Gazali dalam al-Ihya', bahwa
al-hisbah adalah:
"Usaha untuk mencegah kemunkaran
(pelanggaran) terhadap hak Allah dengan maksud menghindarkan orang yang dicegah
dari melakukan kemunkaran".
Ibnu Khaldun mendefinisikan kalimat hisbah itu
dalam Muqaddimah-nya:
"Hisbah adalah termasuk kewajiban agama
yang dalam kategori amar ma'ruf dan nahi munkar".
"Sesungguhnya al-hisbah ialah setiap
ma'ruf yang ditinggalkan dan setiap munkar yang dikerjakan".
Amar ma'ruf dan nahi munkar adalah kewajiban
dari Allah Rabbul Alamin dalam al-Qur'an.Di dalamnya Allah Rabbul Alamin banyak
memuji orang yang m elakukan amar ma'ruf dan nahi munkar. Bahkan kewajiban ini
telah dinyatakan oleh Rasulullah shallahu alaihi wassalam dalam banyak
hadistnya.
Sesungguhnya Hisbah secara etimologi dan
terminologi berkisar pada memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungakaran
(amar makruf nahi mungkar). Hisbah secara terminologi adalah memerintahkan
kebaikan apabila ada yang meninggalkanya, dan melarang kemungkaran apabila ada
yang melakukanya.
Tercatat pula bahwa disamping lembaga bait
al-mal terdapat institusi lain yang diperkenalkan oleh Rosulullah pada masanya,
yaitu al-hisbah. Seperti halnya bait al-mal, al-hisbah pada masa itu secara
aplikasi sudah berfungsi, sekalipun istilah itu baru muncul dibelakang hari.
Al-hisbah adalah lembaga pemerintahan yang berfungsi sebagai controler, monitor dan supervisor perkembangan kehidupan ekonomi. Lembaga ini
memainkan peran besar dalam mengawasi dan mengontrol sejumlah besar kegiatan
ekonomi, proyek-proyek sosial dan sipil.
Al-hisbah merupakan institusi pemerintah
yang bertujuan untuk mewujudkan apa yang
disebut dengan humanisasidan liberalisasi sebagaimana yang terlihat dalam
ajaran agama islam tentang amr al-ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar. Ia
dimaksudkan sebagai lembaga yang menganjurkan pada kebaikan dan mencegah
kemungkaran dalam wialayah yang tak bisa diawasi oleh institusi biasa.
Lembaga ini juga berperan sebagai lembaga
pengawas pasar ekonomi yang memonitor perilaku para pelaku ekonomi agar
berjalan sesuai dengan koridor dan mekanisme yang menjadi tujuan-tujuan syari’ah, yaitu kemaslahatan
umum yang ditujukasn untuk memelihara
agama, diri, akal, keturunan dan harta. Sebagai lembaga pengawas ekonomi
al-hisbah menjamin tidak terjadinya monopoli, pelamggaran aturan moral dalam
pasar, hak konsumen, keamanan, dan kesehatan kehidupan ekonomi.
Beberapa ayat
al-Qur'an tentang kewajiban melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar.
Artinya: "Dan hendaklah ada di antara
kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebaikan, memerintah yang ma'ruf dan
mencegah yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS.
Ali Imran: 104)
Allah telah menjadikan amar ma'ruf dan nahi
munkar sebagai sifat dan karakter agung umat ini. Apabila sifat dan karakter
ini ditinggalkan umat sudah tidak ada artinya lagi bagi kehidupan. Firman-Nya:
Artinya: "Kalian adalah sebaik-baik
umat yang dikeluarkan untuk menusia, menyuruh yang ma'ruf dan mencegah dari
yang munkar dan beriman kepada Allah".(QS. Ali Imran: 110)
B. Sejarah
Wilayah Hisbah
Masa
Nabi Muhammad SAW Satu hal yang dilakukan oleh Nabi SAW di Madinah setelah
hijrah dari Makkah ke Madinah adalah mempererat persaudaraan antara kaum
Muhajirin dan Anshar dengan mengeluarkan shahifah yang dikenal dengan shahifah
al-rasul yang berisi tentang :
a.
Pernyataan persatuan antara Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang
berhubungan dan berjuang bersama mereka;
b.
Orang-orang yang berlaku zalim atau mengadakan permusuhan di antara orang
mukmin, harus sama-sama diatasi walaupun keluarga sendiri;
c.
Orang Yahudi saling membantu dengan orang mukmin dalam menghadapi musuh, dan
bebas menjalankan agamanya masing-masing;
d.
Orang-orang yang bertetangga seperti satu jiwa dan tidak boleh untuk saling
berbuat dosa;
e.
Orang-orang yang bermukim di Madinah berstatus aman kecuali yang berlaku zalim
dan dosa.
Dengan
keluarnya shahifah al-rasul ini mengindikasikan telah berdiri satu daulah Rasul
sebagaimana terlihat dalam penyusunan strategi dalam menghadapi musuh
(orang-orang Quraisy). Kondisi peradilan pada masa ini sudah terlihat dengan
adanya sahabat yang diutus oleh Nabi SAW untuk menjadi qadhi, seperti Muadz Ibn
Jabbal sebagai qadhi di Yaman, dan Umar Ibn al-Khaththab di Madinah. Namun
demikian, walaupun kewenangan untuk menyelesaikan persoalan diberikan kepada
shahabat (qadhi), Akan tetapi, apabila terjadi ketidakpuasan terhadap putusan
tersebut, boleh mengajukan keputusan kembali kepada Nabi SAW. Wilayah Hisbah
pada masa ini sebagai suatu lembaga belum terbentuk sebagai suatu lembaga,
hanya praktik-praktik yang mengarah pada kewenangan hisbah masih dilakukan
sendiri oleh Nabi SAW, seperti ketika Nabi SAW berjalan-jalan di pasar Madinah
dan melewati penjual makanan, kemudian Nabi SAW memasukkan tangannya ke dalam
setumpukan gandum dan menemukan bagian gandum yang basah, Nabi SAW kemudian
bersabda: “Bahwa barangsiapa yang menipu umatnya maka bukan termasuk umatnya”.
Masa
Khulafa al-Rasyidin Setelah Nabi SAW wafat kewenangan sebagai pemimpin
masyarakat (negara) digantikan oleh Abu Bakar, Umar Ibn al Khaththab, Utsman
Ibn Affan, dan Ali Ibn Ali Thalib. Secara umum kondisi peradilan pada masa ini
tidak banyak mengalami perubahan. Hanya pada masa Umar Ibn al-Khaththab dan Ali
Ibn Abi Thalib diberikan bimbingan dan petunjuk kepada qadhi yang diangkat.
Begitu
juga dengan lembaga hisbah, pada masa ini tidak banyak mengalami perubahan,
artinya muhtasib dipegang sendiri oleh khalifah. Masa Daulah Umayyah Setelah
Ali Ibn Abi Thalib wafat, kekhalifahan digantikan oleh Hasan Ibn Ali Ibn Abi
Thalib. Melihat adanya perdebatan dan kurangnya dukungan masyarakat terhadap
kepemimpinannya, akhirnya ia serahkan kekhalifahan kepada Mu’awiyah Ibn Abi
Sufyan, maka dimulailah masa imperium Daulah Umayyah dari 661 – 750 M.
Keberadaban
peradilan pada masa ini memiliki keistimewaan –terpisah dengan kekuasaan
pemerintah- dengan adanya penentuan qadhi yang dipilih khalifah, dengan
memiliki kewenangan memutus perkara kecuali dalam bidang hudud. Pelaksanaan
peradilan itu sendiri sesungguhnya masih sama dengan peradilan pada masa
khalifah al-rasyidin. Wilayah hisbah (muhtasib) pada masa ini sudah melembaga
dan diangkat oleh khalifah, dan lembaganya disebut Shahib al-Sauq. Joeseph
Schacht, dalam an Introduction to Islamic law menjelaskan bahwa wilayah hisbah
diadopsi dari lembaga peradilan di masa Bizantium yang fungsinya merupakan
bagian dari peradilan, yaitu spector of market.
Setelah
Daulah Umayyah runtuh dan digantikan oleh Daulah Abbasiyah dari kurun waktu 750
M-1225 M (132 H-656 H), umat Islam banyak mengalami kemajuan dalam segala
bidang termasuk dalam lembaga peradilan, pada periode ini telah terjadi pemisahan
kekuasaan, lembaga peradilan dikepalai oleh qadhi al-qudhah yang berkedudukan
di ibukota, dengan kewenangan mengawasi para qadhi yang berkedudukan di daerah
kekuasaan Islam. Begitu juga dengan lembaga hisbah sudah terlaksana dengan
baik, lembaga ini berada di bawah lembaga peradilan dan berfungsi untuk
memperkecil perkara-perkara yang harus diselesaikan oleh wilayah qadha. Hal ini
dijelaskan oleh Schacht bahwa pada saat yang sama ketika hakim-hakim peradilan
menghadapi perkara yang semakin banyak, ada keharusan untuk akomodasi dan
muhtasib. Artinya, keberadaan lembaga ini pada periode Abbasiyah sudah
melembaga seperti lembaga pemerintahan lainnya, yang secara struktural berada
di bawah lembaga peradilan (qadha). Penetapan Wilayah Hisbah dalam Sistem Pemerintahan
Islam Wilayah hisbah sebagai salah satu wilayah qadha dalam sistem pemerintahan
Islam, memiliki perbedaan dalam mendefinisikan dan menggambarkannya antara
konsep-konsep dengan realitas dalam konteks sejarah. Abu Ya’la Muhammad Ibn
al-Husein al-Farakhi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah menyatakan bahwa wilayah
hisbah adalah menyuruh berbuat baik, dengan melarang berbuat mungkar.
Namun,
lembaga ini lahir secara alami yang kemungkinan dilatarbelakangi oleh:
a) adanya
aturan-aturan dalam nash yang mengatur sistem jual beli secara ketat,
b) adanya
isyarat syara’ membentuk pasar yang sesuai dengan syariat Islam.
Untuk
melihat lebih jelas kapan wilayah hisbah ini terlepas dari kekuasaan khalifah
(pemerintah), maka perlu dilihat dalam periodisasi sejarah. Taufiq Abd. al-Gani
al-Rasyasyi memberikan pernyataan bahwa Rasulullah dan para khalifah
al-rasyidin pada awal pemerintahan Islam langsung terjun dalam melaksanakan
fungsi hisbah. Namun, ketika urusan pemerintahan semakin banyak, kewenangan ini
dikhususkan pada lembaga tertentu yang pada masa berikutnya disebut wilayah
hisbah. Pernyataan di atas dapat diterima karena secara faktual terlihat embrio
lembaga ini sudah ada pada masa Nabi SAW yang ketika itu kewenangannya masih
dilaksanakan oleh Nabi SAW dan setelah Futuhat al-Makkah tugas pengawasan pasar
didelegasikan kepada Umar Ibn al-Khaththab di Madinah, dan Sha’id Ibn Sha’id
Ibn al-Ash untuk Makkah. Pada masa Khulafa al-Rasyidin, hisbah masih dipegang
oleh khalifah di samping mengangkat petugas hisbah (muhtasib) untuk
melaksanakan kewenangan hisbah tersebut, sebagaimana dilakukan oleh Umar Ibn
al-Khathab yang mengangkat Sa’id Ibn Yazid, Abdullah Ibn Uthbah, dan Ummu
al-Syifa sebagai muhtasib. Begitu juga pada masa Utsman Ibn Affan dan Ali Ibn
Abi Thalib. Dengan demikian pada masa Nabi SAW dan Khulafa al-Rasyidin belum
secara jelas adanya pemisahan antara wilayah hisbah dengan kekuasaan khalifah.
Periode
selanjutnya pada masa Daulah Umayyah, wilayah hisbah sudah terpisah
kekuasaannya dengan kekuasaan khalifah. Ini terlihat pada eksistensi wilayah
hisbah sebagai salah satu lembaga peradilan (qadha), walaupun pengangkatan
muhtasib masih berada dalam kekuasaan khalifah, sebagaimana yang dilakukan
Muawiyah Ibn Abi Sufyan yang mengangkat Qais Ibn Hamzah al-Mahdaq sebagai muhtasib.
Hal ini menunjukkan bahwa wilayah hisbah sudah terpisah dari kekuasaan
khalifah, hanya saja penetapan peraturan pelaksanaan hisbah masih menjadi tugas
khalifah. Oleh karena itu, pertanyaannya kapankah wilayah hisbah ini resmi
dinyatakan sebagai suatu lembaga? Menurut Hassan Ibrahim Hassan, wilayah hisbah
sebagai suatu lembaga dengan muhtasib petugasnya, yaitu pada masa khalifah
al-Mahdi al-Abbasiyah (158-169 H/775-785 M).
Pada
masa pemerintahan Abbasiyah, kelembagaan hisbah masih sama dengan kelembagaan
hisbah pada periode Umayyah, Namun kewenangan mengangkat muhtasib sudah tidak
lagi dalam kekuasaan khalifah, tetapi diserahkan kepada qadhi al-qudhah, baik
mengangkat maupun memberhentikannya.
Sistem
penerapan wilayah hisbah, muhtasib tidak berhak untuk memutuskan hukum
sebagaimana halnya pada wilayah qadha, muhtasib hanya dapat bertindak dalam
hal-hal skala kecil dan pelanggaran moral, yang jika dianggap perlu muhtasib
dapat memberikan hukuman ta’zir terhadap pelanggaran moral. Berdasarkan hal
ini,
kewenangan
muhtasib lebih mendekati kewenangan polisi, tetapi bedanya, ruang gerak
muhtasib hanyalah soal kesusilaan dan keselamatan masyarakat umum, sedangkan
untuk melaksanakan penangkapan, penahanan, dan penyitaan tidak termasuk dalam
kewenangannya. Di samping itu, muhtasib juga berwenang melakukan pencegahan
terhadap kejahatan perdagangan dalam kedudukannya sebagai pengawas pasar,
termasuk mencegah gangguan dan hambatan, pelanggaran di jalan, memakmurkan
masjid, dan mencegah kemungkaran seperti minum-minuman keras, perjudian, dan
lain-lain.
C. Wewenang
Wilayah Hisbah
Imam
Mawardi dalam al-ahkam al-sulthaniyyah mengatakan; Wilayah Hisbah mempunyai
tugas melaksanakan Amar ma’ruf jika tampak nyata orang melalaikannya dan
melakukan nahi mungkar jika tampak nyata orang mengerjakannya. kewenangan
wilayah hisbah sesungguhnya merupakan kewenangan untuk menyuruh berbuat baik
dan melarang berbuat munkar, serta menjadikan kemaslahatan dalam masyarakat.
Wilayah
Hisbah mempunyai tugas yang sangat banyak dan luas, tak heran kalau Ibnu
Khaldun menyetarakan fungsi wilayatul hisbah dengan fungsi Khilafah
(pemerintahan). Semua yang diperintahkan dan dilarang oleh syara’ adalah tugas
muhtasib (petugas Wilayah Hisbah) untuk mengawasi terlaksana atau tidak di
dalam masyarakat. Ia memasuki hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat.
Kewajibannya tidak terbatas dalam hal perintah memakai jilbab, perintah
melaksanakan orang yang lalai shalat jumat, melarang berbagai maksiat dan
kemungkaran, tetapi juga dalam bidang ekonomi, seperti mengawasi praktik jual
beli dari riba, gharar, serta kecurangan, mengawasi standar timbangan dan
ukuran yang biasa digunakan, memastikan tidak ada penimbunan barang yang
merugikan masyarakat, mengawasi makanan halal, juga aspek sosial-budaya,
seperti melarang kegiatan hiburan yang bertentangan dengan Islam, memberantas
judi buntut, minuman keras, praktik a-susila dan lain-lain.
Wilayah
Hisbah memasuki lorong-lorong kecil di kampung-kampung, setiap hari kerjanya
adalah amar ma’ruf nahi mungkar, tidak ada perkara syariat yang luput dari
perhatiannya. Wilayah Hisbah adalah lembaga yang setiap hari berkampanye
menumbuhkan kesadaran syariat Islam dan mengawasi pelaksanaannya dalam
masyarakat. Sebab itu, Muhtasib yang baik adalah yang lebih sering berada di
jalanan, di pasar, di kampung-kampung memantau pelaksanaan syariat oleh
masyarakat, daripada hanya sekedar berada di kantor.
Namun
demikian Wilayah Hisbah hanya bertugas mengawasi hal-hal yang tampak (zahir)
dan sudah ma’ruf di kalangan masyarakat. Yaitu perkara-perkara umum yang tidak
ada perselisihan ulama tentang kewajiban melaksanakannya ataupun
meninggalkannya, atau sering juga disebut perkara-perkara yang sudah menjadi
‘uruf (adat) dalam keseharian masyarakat. Adapun perkara-perkara detail yang
masih berupa was-was, dugaan, dan memerlukan investigasi secara mendalam,
pembuktian, kesaksian dan sumpah adalah bukan wewenang Wilayah Hisbah, tetapi
menjadi wewenang lembaga lainnya yaitu wilayatul qadha’ atau wilayatul
madzalim.
Di
samping mengawasi, Wilayah Hisbah juga mempunyai wewenang menjatuhkan hukuman
kepada orang-orang yang terbukti melanggar syari’at. Tentu hukuman itu
berbentuk ta’zir, yaitu hukuman yang diputuskan berdasarkan kearifan sang hakim
diluar bentuk hukuman yang ditetapkan syara’. Hukuman yang dijatuhkan Wilayah
Hisbah juga tidak seberat hukuman yang dijatuhkan melalui lembaga peradilan.
Muhtasib boleh membakar VCD porno, menyita barang yang ditimbun oleh pedagang
sehingga menyengsarakan masyarakat lalu membagi-bagikannya kepada orang miskin,
mengancam pencemaran nama baik, memasukkan ke penjara, sampai kepada mengarak
si pelanggar keliling kota dan menggantungi tulisan “saya telah melanggar
syariat dan tidak akan mengulanginya lagi”.
Tentu
ketika menjatuhi hukuman Wilayah Hisbah harus sudah mempunyai cukup bukti dan
memang tampak jelas (terbukti) bahwa seseorang betul-betul melanggar syari’at
(dzahara fi’luhu), atau tampak jelas seseorang meninggalkan perkara syari’at
(dzahara tarkuhu). Karena itu Wilayah Hisbah tidak boleh sewenang-wenang,
apalagi kalau hanya berdasarkan prasangka-prasangka yang belum tentu benar. Ini
penting karena masyarakat tentu sangat sensitif terhadap segala macam bentuk
hukuman, apalagi kalau ternyata ia tidak melanggar syari’at atau hanya
berdasarkan prasangka Wilayah Hisbah saja. Kesalahan menjatuhi hukuman akan
membuat masyarakat apatis terhadap syariat. Dan menganggap syari’at mengganggu
kebebasan privasi mereka.
Sebab
itulah, untuk tahap awal yang paling penting dilakukan sebenarnya adalah
menumbuhkan kesadaran yang sempurna di kalangan masyarakat, baik dengan ceramah
ataupun yang lebih bagus tingkah laku kongkrit para penguasa yang akan menjadi
contoh rakyat. Petugas Hisbah yang menjalankan tugas amar ma’ruf nahi mungkar
wajib menjadikan dirinya orang yang pertama melakukan perkara-perkara ma’ruf
dan orang yang pertama meninggalkan perkara-perkara yang mungkar.
PENUTUP
KESIMPULAN
KESIMPULAN
1. Wilayatul
Hisbah (WH) adalah departemen resmi yang dibentuk oleh pemerintah negara Islam.
Tugas utamanya adalah melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar . Menurut Ibnu
Taimiyah yang dimaksud dengan wilayah hisbah adalah muhtasib yang kewenangannya
adalah menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat mungkar, yang tidak termasuk
wilayah qadha dan wilayah lainnya
2. Secara
faktual terlihat embrio lembaga ini sudah ada pada masa Nabi SAW yang ketika
itu kewenangannya masih dilaksanakan oleh Nabi SAW dan setelah Futuhat
al-Makkah tugas pengawasan pasar didelegasikan kepada Umar Ibn al-Khaththab di
Madinah, dan Sha’id Ibn Sha’id Ibn al-Ash untuk Makkah. Pada masa Khulafa
al-Rasyidin, hisbah masih dipegang oleh khalifah disamping mengangkat petugas
hisbah (muhtasib) untuk melaksanakan kewenangan hisbah tersebut.
Periode
selanjutnya pada masa Daulah Umayyah, wilayah hisbah sudah terpisah kekuasaannya
dengan kekuasaan khalifah. Ini terlihat pada eksistensi wilayah hisbah sebagai
salah satu lembaga peradilan (qadha), walaupun pengangkatan muhtasib masih berada
dalam kekuasaan khalifah.
Pada
masa pemerintahan Abbasiyah, kelembagaan hisbah masih sama dengan kelembagaan
hisbah pada periode Umayyah, Namun kewenangan mengangkat muhtasib sudah tidak
lagi dalam kekuasaan khalifah, tetapi diserahkan kepada qadhi al-qudhah, baik
mengangkat maupun memberhentikannya
3. Wilayah
Hisbah bertugas mengawasi hal-hal yang tampak (zahir) dan sudah ma’ruf di
kalangan masyarakat. Yaitu perkara-perkara umum yang tidak ada perselisihan
ulama tentang kewajiban melaksanakannya ataupun meninggalkannya, atau sering
juga disebut perkara-perkara yang sudah menjadi ‘uruf (adat) dalam keseharian
masyarakat. Di samping mengawasi, Wilayah Hisbah juga mempunyai wewenang
menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang terbukti melanggar syari’at.
0 komentar:
Posting Komentar