Makalah hukum pidana islam (Hirabah)

BAB II
JARIMAH HIRABAH
{PERAMPOKAN }
A.    Pengertian Hirabah
Hirabah adalah bentuk masdhar dari kata  حا رب-يحا رب-محاربة-حرابة yang secara etimolagi berarti قاتلة memerangi[1] atau dalam kalimat حارب الله berarti seseoarang bermaksiat kepada Allah[2]. adapun secara terminologis,  hirobah yang juga disebut qutta’ u al-thoriq di defenisikan oleh beberapa penulis, antara lain sebagai berikut :
1.      Imam Asyafii, dalam Al- Umm.
Para pelaku perampokan  qutta’u al-thoriq ialah mereka yang melakukan penyerangan dengan membawa senjata kepada sebuah komunitas orang sehingga para pelaku merampas harta kekayaan mereka di tempat-tempat terbuka secara terang- teranga. Saya berpendapat {apabila perbuatan itu dilakukan di tempat terbuka }, diantara para pelaku tidak boleh dipotong tangan nya kecuali telah terbuktimengambil harta senilai seperempat dinar atau lebih, hal ini diqiyaskan dengan hadist tentang sanksi bagi pelaku pencurian. Masing- masing pelaku dalam hirabah ini diberikan sanksi hukum semua dengan perbuatanya. Seorang yang harus dihukum mati dan salib, maka di bunuh terlebih dahulu, sebelum disalib kerena perbuatannya pelaku tersebut harus dihukum sebagai tindakan yang di benci[3].
 Disini Imam syafii juga memberi penjelasan mengenai sanksi terhadap pelaku perampokan. Kalau hanya merampas harta lebih dari nisab pencurian , sanksi adalah potong tangan. Kalau pelaku membunuh, sanksi hukuman adalah mati . sementara itu, kalau pelaku membunuh korban dan merampas hartanya, sanksi adalah disalib dan dibunuh.

2.      Muahammad Abu Zahrah, ia mengutip pendapat kalangan Hanafiah.
Ulama kalangan Hanafiah mendefinisikan hirabah atau qutta u al- thoriq adalah keluar untuk menyerang dan merampas harta benda yang dibawah  oleh para pengguna jalan secara paksa, sehingga mereka terhalang –halangi, tidak bisa lewat kerena jalanya terputu. Hal ini  bisa dilakukan secara berkelompok atau secara individualyang jelas memiliki kemampuan  untuk memutus jalan. Baik dilakukan dengan senjata,  pedang atau alat-alat lain, seperti tongkat , batu, kayu dan lain-lain, yang tentu saja lalulintas jalan terhambat akibat tindakan-tindakan (anarkis)seperti ini, baik tundakan perampokan  itu dilakuakan secara  bekerja sama langsung, maupun dengan kerja sama tidak langsung, dengan cara saling membantu dan mengambil ( perang).[4]

3.      Muhamad Abu Zahrah menjelaskan tentang teknis hirabah, baik mengenai senjata yang digunakan maupun jumlah pelaku ( individual atau kelompok).

Al-Qurtubi . Ia menjelaskan tentang surah AL-Ma’idah (5) ayat 33.

Para ulama’ berbeda pendapat tentang siapa yang disebut  pelaku hirabah Imam Maliki berpendapat “Pelaku hirabah menurut kami ialah orang yang menyengsarakan masyarakat, baik didalam kota ataupun diluar kota, Si pelaku membunuh dan merampas harta mereka bukan kerena perseteruan, permusuhan, dan dendam kesumat.

Imam Maliki  menyatakan bahwa perampok semata mata ingin menguasai harta kekayaan korban, bukan kerena masalah-masalah lain yang terjadi sebelumnya.

4.      Imam AL-Nawawi, dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muahadzadzab
Terhadap orang yang menghunus senjata dan meneror (orang) dijalan–jalan kota besar atau diluar kota, maka seorang kepala negara (Imam )wajib menindaknya, sebab kalau hal ini dibiarkan terus pasti akan semakin kuat pergerakan teror tersebut dan akan semakin besar kerusakan yang terjadi berupa pembunuhan dan perampasan harta benda.  Kalau para pelaku sudah bisa ditangkap sebelum berhasi meramampas harta, dan membunuh jiwa , maka sanksi hukuman berupa ta’zir. Akan tetapi apabila pelaku sudah mengambil sejumlah harta yang tersimpan  ditempat penyimpanan nya dan telah mencapai nisab pencurian, maka seorang imam wajib menghukum potong tangan pelaku, dan dipotong kaki kiri pelaku apabila ia mengulangi nya lagi. Alasanya adalah hadist riwayat Al-Syafi’i dariIbnu AbbasAlasanya adalah hadist riwayat Al-Syafi’i dariIbnu Abbaskata tentang sanksi pelaku perampokan , yaitu kalau mereka telah melakukan pembunuhan jiwa dan merampas harta benda maka sanksi mereka berupa hukuman mati dan salib{ kifayatul akhyar},[5] kalau mereka hanya membunuh jiwa, tetapi mereka tidak merampas harta sanksi mereka hanya hukuman mati, tanpa harus disalib, kalau para pelaku hanya merampas harta tanpa membunuh jiwa, maka sanksi mereka berupa hukuman potong tangan dan kaki secara bersilang serta di asingkan, jika mereka lari pada saat akan dihukum, sampai dieskusi dengan hukuman hudud.
      AL-Nawawi menyetujui pendapat Imam Al-syafi’i dalam memberikan sanksi terhadap perampok, yaitu tergantung tindakannya. Adapun hal menarik yang Al-Nawawi kemukakan adalah tentang kewajiban kepala negara untuk menindak tegas segala bentuk gerakan separatis dan aksi teror yang terjadi. Sebab kalau tidak diatasi tentu akan semakin parah dan kerusakan yang ditimbulkan akan semakin besar.

5.      Abdul Qodir Audah berpendapat.
Hirabah ialah perampokan atau pencurian besar, cakupan pencurian yang meliputi perampokan itu ditinjau dari segi arti majas bukan arti hakikat, sebab pencurian itu mengambil (harta)secara sembunyi-sembunyi sedangkan pada perampokan mengambil harta dilakukan dengan cara terang-terangan. Akan tetapi, memang bahwa pada perampokan juga terdapat unsur-usur sembunyi-sembunyi, yaitu pada sikap pelaku yang bersembunyi dari seorang kepala negara  dan dari ketataan untuk mejaga ketertiban dan keamanan. Oleh kerena itu cakupan makna kata sariqah  tidak meliputi perampokan. Abdul Qodir Audah menjelaskan bahwa perampokan berbeda dengan pencurian. Perbedaannya adalah cara melakukannya. Pencurian dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sedangkamn perampokan dilakukan dengan terang-terangan dan disertai dengan kekerasan.dari urian  diatas dapat disimpulkan bahwa hirabah ialah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok  orang kepada pihak lain, baik dilakukan di dalam rumah maupun di luar rumah, untuk menguasai harta orang lain atau membunuh orang lain atau membunuh korban atau menakut nakuti. Adapun menakut nakuti dalam bahasa Arab, Al-Syarbini menyebutkan dengan ir’ab dan Al-Ramli menyebutkan dengan irbah. Kedua-duanya berarti menakut-nakuti, dalam hal ini, pelaku menakut nakuti korban dengan gerakan, ancaman, kecaman dan kekerasan. Dengan demikian untuk konteks saat ini merakit bom dan meledakkan nya termasuk hirabah.

B.     Dalil dan Sanksi Terhadap Perampokan

Dalil naqli tetnatang perampokan disebutkan secara tegas di dalam Al-Qur’an sebagai berikut.
انما جزاالذين يحاربون الله ورسوله ويسعون فى الارض فسا د ا ان يقتلو او يصلبو او يقطع ايديهم وارجلهم من  من خلف او ينفؤا من الارض ذ لك لهم خزي فى الد نيا ولهم في الاخرة عدب عضيم الالدين تابوا من قبل ان تقدروا عليهم فاعلموا ان الله غفر رحيم
Artinya:
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rosulnya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah mereka dibunuh dan disalib, atau dipotong tangan dan kaki kiri mereka dengan bertimbal bali, atau di buang dari negeri(tempat kediamannya ), yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan akhirat mereka mendapat siksaan yang besar, kecuali orang-orang yang bertaubat ( diantara mereka)sebelum kamu dapat menguasai (menangkap)mereka, maka ketahuilah bahwasannya Allah Maha Pengampun {QS.AL-Ma’idah (5);33-34)

Selain itu, terdapat sebuah Hadist sekaligus sebagai sebab al-nuzul dari ayat di atas , hadist nya adalah sebagai berikut yang artinya:

Dari Anas bin Malik, bahwasannya ada sekelompok orang dan suku Urainah yang memasuki kota Madinah untuk bertemu dengan Rosullulah Saw, mereka lalu sakit karena tidak cocok dengan cuaca kota Madinah. Rosulullah Saw bersabda kepada mereka, “jika kalian mau bertoubat, sebaiknya kalian menuju ke suatu tempat yang di sana terdapat beberapa ekor unta yang berasal dari sedekah.kalian dapat memnum air susu dan air seninya. Setelah itu, mereka mendatangi orang-orang yang menggembalakannya lalu membantai para penggembala. Mereka kemudian murtad dan menggiring (merampok) beberapa ekor unta milik rosulullah Saw. Hal ini terdengar oleh beliau. Beliau pun mengutus pasukan untuk mengejar. Setelah tertangkap, mereka didatangkan kepada rosulullah, lalu beliau memotong tangan dan kaki mereka. Mata mereka dicungkil dan ditinggalkan dibawah terik matahari sampai akhirnya meninggal. (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Al-Nasa’i).
Imam Al-Nawawi berpendapat bahwa hadist di atas merupakan ketentuan dasar tentang sangsi bagi perampok yang sesuai dengan syrah Al-Ma’idah ayat 33-34. Akan tetapi, ulama berbeda pendapat dalam memahami partikel penghubung aw (او), apakah makna atau atau dan. Abu Syuhbah berpendapat sangsi tersebut harus dibuang dan tidak benar merupakan pilihan. Pendapat lengkapnya adalah sebagai berikut. Perbedaan pendapat didasarkan pada arti (او) di dalam ayat, apakah untuk penyebutan jenis atau merupakan pilihan. Kelompok ulama yang berpendapat bahwa (او) dimaksudkan untuk penyebutan jenis adalah sebagai berikut.
Jumhur ulama berpendapat bahwa (او) dimaksutkan untuk penyebutan jenis. Jadi, masing-masing had islam ayat tersebut berlaku untuk sebuah tindakan tertentu, sekalipun mereka juga berbeda pendapat mengenai teknis pembagiannya.
Kelompok lainnya berpendapat bahwa para pelaku dikenai sanksi had tertentu sesuai dengan tindakan pidana mereka. Orang yang hanya meneror di jalan dan merampas harta maka sanksinya dipotong tangan dan kakinya secara bersilang; tentu jika anggota badan normal, agar tidak dapat digunakan. Kemudian sebagian ulama berpendapat bahwa untuk menentukan sanksi potongan tangan, haruslah mencapai nisab pencurian, tetapi sebagai yang lain tidak mensyaratkan seperti itu.
Jika pelaku mengambil harta dan membunuh korban maka sanksinya berupa potongan tangan dan kakinya, lalu disalib.
Jika pelaku membunuh korban, tetapi tidak mengambil harta maka sanksinya berupa hukuman mati berupa had, bukan sebagai qishash. Karena bukan sebagai qishash, tidak dapat dibatalkan lantaran dimaafkan oleh pihak keluarga korban. Demikian halnya persyaratan dalam pemberlakuan qishash juga tidak berlaku disini. Sebab yang terjadi di sini adalah kewajiban memberlakukan had sebagai balasan atas sikap pelaku yang menentang allah dan rosulnya, melanggar perintah keduanya, menakut-nakuti orang, dan mengacaukan keamanan masyarakat.
Sementara itu, jika pelaku tidak mengambil harta dan tidak membunuh maka ia diasingkan.
Diantara argumentasi yang menguatkan bahwa hukuman diberlakukan secara keseluruan (bukan dipilih) adalah apa yang mereka kemukakan yaitu bahwa yang pasti empat jenis hukuman yang disebutkan al-quran merupakan sanksi atas tindak pidana perampokan yang bertingkat-tingkat, baik dilakukan secara ringan maupun keras. Oleh sebab itu, tidak boleh memberlakukan sanksi berat atas tindak pidana ringan dan tidak boleh memberlakukan sanksi ringan atas tindak pidana berat.
Sementara itu, kelompok yang berpendapat bahwa sanksinya dapat, yaitu sebagai berikut.
Sebagai ulama salaf berpendapat bahwa sanksi bagi perampok dapat dipilih. Mereka berkata bahwa hakim boleh memilih dalam menetapkan hukum bagi perampok dengan beberapa jenis hukuman yang diwajbkan oleh Allah, yaitu hukuman mati, penyaliban, pemotongan tangan, atau pengasingan. Semuanya disandarkan pada kata penghubung (او) dalam ayat yang menyatakan pilihan.
Dibandingkan dengan pendapat jumhur ulama yang sudah dipaparkan, pendapat ini tidak tepat. Sebab kalau sangsi dipilih, tentu tidak proporsional. Tindak pidana yang ringan dapat diganjar dengan sanksi yang terlalu berat dan sanksi ringan dapat diberikan sebagai balasan atas tindak pidana yang berat.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa sanksi yang ditetapkan bagi perampok ada empat macam, yaitu dihukum mati, disalib, dipotong tangan dan kakinya secara bersilang, serta diasingkan. Keempat jenis sanksi berat ini tidak dipilih, tetapi dilahsanakan secara keseluruhan dan disesuaikan dengan tindakannya. Bagi perampok yang membunuh korban, sanksinya berupa hukuman mati; bagi perampok yang membunuh dan merampas harta korban, sanksinya berupa hukuman mati dan disalib; bagi perampok yang merampas harta korban, sanksinya berupa potongan tangan dan kakinya secara bersilang; dan bagi perampok yang menakut-nakuti korban, sanksinya diasingkan.     




[1] Ibrahim anis,dkk.,AL-Mu’jam Al-Wasit, (Mesir”Dar Al-Ma’arif, 19972), Jilod 1, Hal163.lihat juga Luis Ma’luf Al- Munjid Fi Al-Lughot, (Bairut Dar Al- Masyariq),1977 hal124.
[2] Ibid, hal 163
[3] Al-Syafi’iAl-Umm, Maktabah Al-Kulliyah Al-Azhariyah,1961 Jilid VII hal, 265.
[4] Muhamad Abu Zahrah, Al-Jarimah Wa Al-Uqubah Fi fiqih Al-Islami, Al- Uqubah, (Kairo:Dar
[5] Imam taqiudin abu bakar bin ahmad, kifayatul akhyar, darul abiding, Juz II, hal, 179.

Penulis : (syariah) hukum keluarga ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel Makalah hukum pidana islam (Hirabah) ini dipublish oleh (syariah) hukum keluarga pada hari Jumat, 23 Oktober 2015. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan Makalah hukum pidana islam (Hirabah)
 

0 komentar:

Posting Komentar