BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Indonesia
telah menubuhkan sebuah negara yang berdasarkan pada kedaulatan hukum. Oleh
karena itu, supermasi hukum menjadi dari tujuan segala elemen di dalam
pemerintahan dan rakyat itu sendiri.
Oleh
karena melihat kenyataan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah
negara yang terbentuk dari berbagai agama, ras, bahasa, dan budaya; maka
tuntutan hukum yang digunakan di dalam Peradilan Agama di Indonesia juga
ditentukan.
Dalam
hal ini, jenis-jenis perkara yang dikuasai oleh sebuah badan peradilan juga
ditentukan. Maka setiap pengadilan yang ada di indonesia, telah ditentukan
dalam hal apa saja dan di mana proses peradilan itu patut untuk dilaksanakan.
Sudah
tentunya, Peradilan Agama yang berada di Indonesia memiliki ciri-ciri yang
sama. Ini dikarenakan kesemua peradilan yang ada di Indonesia ini berada di
bawah naungan/kekuasaan Mahkamah Agung.
B. Rumusan
Masalah
1.
Pengertian kekuasaan?
2.
Kekuasaan relatif Badan Peradilan
Agama?
3.
Kekuasaan absolut Badan Peradilan
Agama?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kewenangan
Kewenangan disebut juga kekuasaan
atau kompetensi, kompetensi berasal dari bahasa Latincompeto,
kewenangan yang diberikan undang-undang mengenai batas untuk melaksanakan
sesuatu tugas; wewenang mengadili. Kompetensi dalam bahasa Belanda disebut competentie, kekuasaan (akan)
mengadili; kompetensi. Kompetensi disebut juga kekuasaan atau kewenangan
mengadili yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa di pengadilan atau
pengadilan mana yang berhak memeriksa perkara tersebut. Ada dua macam
kompetensi atau kekuasaan/kewenangan mengadili, yaitu kewenangan relatif dan
kewenangan absolut.
Sebelum membahas tentang kewenangan
relatif dan kewenangan absolut sebaiknya perlu diketahui terlebih dahulu jenis-jenis
perkara yang diperiksa Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama. Perkara yang
diperiksa Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama ada dua macam, yaitu
permohonan (voluntaire) dan gugatan (contentieus):
Permohonan dan Gugatan
Pemohonan adalah mengenai suatu
perkara yang tidak ada pihak-pihak lain yang saling bersengketa. Gugatan adalah
suatu perkara yang terdapat sengketa antara dua belah pihak.
Perbedaan antara permohonan dan gugatan adalah sebagai berikut.
– Dalam permohonan hanya ada satu pihak saja sedangkan dalam
gugatan terdapat dua pihak yang bersengketa.
– Dalam permohonan tidak terdapat sengketa sedangkan perkara
gugatan terdapat sengketa antara kedua belah pihak.
– Dalam permohonan hakim hanya menjalankan fungsi executive power atau administratif saja sehingga
permohonan disebut jurisdictio
voluntaria atau
peradilan yang bukan sebenarnya. Sedangkan dalam gugatan hakim berfungsi
sebagai hakim yang mengadili dan memutus pihak yang benar dan yang tidak benar.
Gugatan disebut juga Jurisdictio
contentieus atau
peradilan yang sesungguhnya.
– Produk pengadilan dalam perkara permohonan berupa penetapan atau beschikking, disebut juga putusan declaratoir yaitu putusan yang sifatnya
menerangkan atau menetapkan suatu keadaan atau status tertentu. Produk
pengadilan dalam perkara gugatan berupa putusan atau vonnis, yang putusan dapat berupa
putusan condemnatoir yaitu putusan yang bersifat
menghukum kepada para pihak yang bersengketa.
– Penetapan hanya mengikat pada pemohon saja sehingga tidak
mempunyai kekuatan eksekutorial atau penetapan tidak dapat
dilaksanakan/eksekusi. Sedangkan putusan gugatan mengikat kepada kedua belah
pihak sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial.
B.
Kewenangan Relatif Badan Peradilan Agama
Yang dimaksud dengan kekuasaan
relatif (relative
competentie) adalah pembagian kewenangan atau kekuasaan mengadili
antar Pengadilan Negeri. Atau dengan kata lain Pengadilan Negeri mana yang
berwenang memeriksa dan memutus perkara. Pengertian lain dari kewenangan
relatif adalah kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam
perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan tingkatan.
Misalnya antara Pengadilan Negeri Bogor dan Pengadilan Negeri Subang,
Pengadilan Agama Muara Enim dengan Pengadilan Agama Baturaja.
Dari pengertian di atas maka
pengertian kewenangan relatif adalah kekuasaan atau wewenang yang diberikan
kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama jenis dan tingkatan yang
berhubungan dengan wilayah hukum Pengadilan dan wilayah tempat tinggal/tempat kediaman
atau domisili pihak yang berperkara.
1. Kewenangan Relatif Perkara Gugatan
Pada dasarnya setiap gugatan diajukan ke Pengadilan yang wilayah
hukumnya meliputi:
– gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah kediaman tergugat. Apabila tidak diketahui tempat kediamannya maka pengadilan di mana tergugat bertempat tinggal;
– gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah kediaman tergugat. Apabila tidak diketahui tempat kediamannya maka pengadilan di mana tergugat bertempat tinggal;
– apabila tergugat lebih dari satu orang maka gugatan dapat
diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah salah satu
kediaman tergugat;
– apabila tempat kediaman tergugat tidak diketahui atau tempat
tinggalnya tidak diketahui atau jika tergugat tidak dikenal (tidak diketahui)
maka gugatan diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat
tinggal penggugat;
– apabila objek perkara adalah benda tidak bergerak, gugatan dapat
diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi letak benda tidak
bergerak.
– Apabila dalam suatu akta tertulis ditentukan domisili pilihan,
gugatan diajukan kepada pengadilan yang domisilinya dipilih.
Kewenangan relatif perkara gugatan
pada Pengadilan Agama terdapat beberapa pengecualian sebagai berikut.
a.
Permohonan Cerai Talak
Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara permohonan cerai talak diatur dalam pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai berikut.
Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara permohonan cerai talak diatur dalam pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai berikut.
– Apabila suami/pemohon yang mengajukan permohonan cerai talak
maka yang berhak memeriksa perkara adalah Pengadilan Agama yang wilayah
hukumnya meliputi kediaman istri/termohon.
– Suami/pemohon dapat mengajukan permohonan cerai talak ke
Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman suami/pemohon apabila
istri/termohon secara sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa ijin suami.
– Apabila istri/termohon bertempat kediaman di luar negeri maka
yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman suami/pemohon.
– Apabila keduanya keduanya (suami istri) bertempat kediaman di
luar negeri, yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi
tempat pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
b. Perkara Gugat Cerai
Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa, mengadili, dan
memutuskan perkara gugat cerai diatur dalam pasal 73 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai berikut.
– Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa perkara cerai gugat
adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman
istri/penggugat.
– Apabila istri/penggugat secara sengaja meninggalkan tempat
kediaman tanpa ijin suami maka perkara gugat cerai diajukan ke Pengadilan Agama
yang wilayah hukumnya meliputi kediaman suami/tergugat.
– Apabila istri/penggugat bertempat kediaman di luar negeri maka
yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman suami/tergugat.
– Apabila keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar
negeri, yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi
tempat pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
2. Kewenangan Relatif Perkara Permohonan
Untuk menentukan kekuasaan relatif Pengadilan Agama dalam perkara
permohonan adalah diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi
kediaman pemohon. Namun dalam Pengadilan Agama telah ditentukan mengenai
kewenangan relatif dalam perkara-perkara tertentu, perkara-perkara tersebut
adalah sebagai sebagai berikut.
– Permohonan ijin poligami diajukan ke Pengadilan Agama yang
wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.
– Permohonan dispensasi perkawinan bagi calon suami atau istri
yang belum mencapai umur perkawinan (19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi
perempuan) diajukan oleh orang tuanya yang bersangkutan kepada Pengadilan Agama
yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.
– Permohonan pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama
yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan.
– Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan
Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya pernikahan atau
tempat tinggal suami atau istri.
C. Kekuasaan Absolut Badan Peradilan Agama
Kewenangan
absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang berhubungan dengan
jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan.[19] Kekuasaan
pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu,
yaitu orang-orang yang beragama Islam.
Dengan kata lain,
kekuasaan absolut adalah kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis
perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam perbedaannya
dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya,
seperti contoh:
a) Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka
yang beragama Islam, sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan
Peradilan Umum.
b) Pengadilan Agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili
perkara dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara ke Pengadilan
Tinggi Agama atau di Mahkamah Agung.
c) Banding dari Pengadilan Agama diajukan ke Pengadilan Tinggi
Agama, tidak boleh diajukan ke Pengadilan Tinggi.
Terhadap kekuasaan
absolut ini Pengadilan Agama harus meneliti perkara yang diajukan kepadanya,
apakah termasuk kekuasaan absolutnya atau bukan. Kalau bukan, maka dilarang
menerimanya. Kalaupun diterima, maka tergugat dapat mengajukan keberatan
(eksepsi absolut) dan jenis eksepsi ini boleh diajukan sejak tergugat menjawab
pertama dan boleh kapan saja, baik tingkat banding maupun kasasi.
Jenis perkara yang
menjadi kekuasaan Peradilan Agama (kekuasaan absolut) diatur dalam Pasal 49 dan
50 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diamendemen dengan UU
No. 3 Tahun 2006 yang menetapkan:
Pasal 49
Pengadilan
agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang: a. perkawinan; b. waris; c.wasiat; d. hibah; e. wakaf;
f. zakat;
g. Infaq; h.
shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah.
Pasal 50
(1) Dalam
hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus
lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
(2) Apabila
terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek
hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut
diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 49.
Pasal 52A
Pengadilan agama
memberikan itsbat kesaksian rukyathilal dlam
penentuan awal bulan pada tahun Hijriah.
Sesuai dengan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006
tersebut, seluruhnya ada sembilan (9) item yang menjadi wewenang absolut bagi
Peradilan Agama. Ternyata Penjelasan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 telah menjelaskan
setiap satu huruf tersebut sebagai berikut:
Penyelesaian sengketa
tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari’ah, melainkan juga di bidang
ekonomi syari’ah lainnya.
Yang dimaksud dengan
“antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum
yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam
mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan
ketentuan Pasal ini.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perkawinan”
adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai
perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain:
1. Izin beristri lebih
dari seorang;
2. Izin melangsungkan
perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal
orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3. Dispensasi kawin;
4. Pencegahan perkawinan;
5. Penolakan perkawinan
oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. Pembatalan perkawinan;
7. Gugatan kelalaian atas
kewajiban suami dan istri;
8. Perceraian karena
talak;
9. Gugatan perceraian;
10. Penyelesaian harta
bersama;
11. Penguasaan anak-anak;
12. Ibu dapat memikul
biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya
bertanggung jawab tidak mematuhinya;
13. penentuan kewajiban
memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu
kewajiban bagi bekas istri;
14. putusan tentang sah
tidaknya seorang anak;
15. putusan tentang
pencabutan kekuasaan orang tua;
16. pencabutan kekuasaan
wali;
17. penunjukan orang lain
sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
18. penunjukan seorang
wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang
ditinggal kedua orang tuanya;
19. pembebanan kewajiban
ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20. penetapan asal-usul
seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;
21. putusan tentang hal
penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22. pernyataan tentang
sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan
siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan
bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan
tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang
penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli
waris.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah
perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau
lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal
dunia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "hibah"
adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang
atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "wakaf"
adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "zakat"
adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang
dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan
kepada yang berhak menerimanya.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa
makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan
sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu
Wata’ala.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “shadaqah” adalah
perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan
hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu
dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata’ala dan pahala semata.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah”
adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip
syari’ah, antara lain meliputi:
a. bank syari’ah;
b. lembaga keuangan mikro syari’ah.
c. asuransi syari’ah;
d. reasuransi syari’ah;
e. reksa dana syari’ah;
f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah
syari’ah;
g. sekuritas syari’ah;
h. pembiayaan syari’ah;
i. pegadaian syari’ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
k. bisnis syari’ah.
Pasal 50 ayat (2)
Ketentuan ini memberi wewenang kepada
pengadilan agama untuk sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan
lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 apabila
subjek sengketa antara orang-orang yang beragama Islam.
Hal ini menghindari upaya memperlambat atau
mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau
keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan
dengan adanya gugatan di pengadilan agama.
Sebaliknya apabila subjek yang mengajukan
sengketa hak milik atau keperdataan lain tersebut bukan yang menjadi subjek
bersengketa di pengadilan agama, sengketa di pengadilan agama ditunda untuk
menunggu putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan Peradilan
Umum.
Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika
pihak yang berkeberatan telah mengajukan bukti ke pengadilan agama bahwa telah
didaftarkan gugatan di pengadilan negeri terhadap objek sengketa yang sama
dengan sengketa di pengadilan agama.
Dalam hal objek sengketa lebih dari satu objek
dan yang tidak terkait dengan objek sengketa yang diajukan keberatannya,
pengadilan agama tidak perlu menangguhkan putusannya, terhadap objek sengketa
yang tidak terkait dimaksud.
Pasal 52A
Selama ini pengadilan agama diminta oleh
Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang
telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan
dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan
penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadhan dan 1 (satu)
Syawal.
Pengadilan agama dapat
memberikan keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan
penentuan waktu shalat.
Wewenang menanggani sengketa yang menjadi
yuridiksi antara Pengadilan Agama juga adalah wewenang mengadili perkara
tingkat banding bagi Pengadilan Tinggi Agama.
Sedangkan Daerah Istimewa Aceh, Pengadilan
Agama dipanggil dengan sebutan Mahkamah Syar’iyah. Wewenang absolut yang
dimiliki Mahkamah Syar’iyah ini meliputi bidang perdata kekeluargaan, hukum
perikatan, hukum harta benda, dan perkara-perkara di bidang pidana, yang
meliputi: qishâs-diyât, hudûd, dan ta’zîr.
BAB III
KESIMPULAN
Setelah membahas
secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
1. Kekuasaan relatif (relative competentie) adalah kekuasaan
dan wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang
sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama
dalam lingkungan Peradilan Agama. Seperti misal, antara Pengadilan Agama
Bandung dengan Pegadilan Agama Bogor.
2. Kewenangan absolut (absolute
competentie) adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan
sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan
agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di
kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam. Jenis perkara yang
menjadi kekuasaan Peradilan Agama terdapat sebanyak 9 item sebagai berikut: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, Infaq, shadaqah, dan ekonomi
syari'ah.
DAFTAR
PUSAKA
Djalil, Basiq. Peradilan Agama di
Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara
Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 2000.
Pasal 118 Ayat 4 HIR
Penjelasan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Jakarta: Kencana,
2006.
Penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Jakarta: Kencana, 2006.
Soetantio, Retnowulan dan Iskandar
Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek.
Bandung: Mandar Maju, 1997.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Bandung: Citra Umbara, 2007.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Jakarta: Kencana,
2006.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Jakarta: Kencana, 2006.
Wahyudi,
Abdullah Tri. Peradilan Agama di Indonesia. Jogjakarta: Pustaka
Pelajar, 2004.
0 komentar:
Posting Komentar