BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang
Konstitusi sebagai hukum
dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu Negara dapat berupa
konstitusi tertulis dan tidak tertulis. Dalam hal konstitusi tertulis dalam
semua Negara didunia memiliknya disebut UUD yang pada umumnya mengatur mengenai
pembentukan, pembagian wewenang dan cara bekerja sebagai lembaga kenegaraan
sebab, perlindungan HAM. Dalam
perkembangan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi
menepati posisi yang sangat penting. Pengertian dan materi muatan konstitusi
senantiasa berkembang peradapan manusia dan organisasi kenegaraan
UUD tidak dapat dipahami
hanya melalui teksnya saja. Untuk sungguh-sungguh mengerti, kita harus memahami
konteks filosofis, sosio, sampai historis. Yang mempengaruhi perumusannya
disamping itu, setiap kurun waktu dalam sejarah memberi pula kondisi-kondisi
kehidupan yang membentuk dan mempengaruhi kerangka pemikiran dan medan
pengalaman dengan muatan kepentingan yang berbeda, sehingga proses pemahaman
terhadap ketentuan UUD dapat terus berkembang dalam praktek dikemudian hari.
A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana masa periode 5
Juli 1959 – 11 Maret 1966?
2. Bagaimana masa periode 11
Maret 1966 – 19 Oktober 1999?
3. Bagaimana masa periode 19
Oktober 1999 – sekarang?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. MASA 5 JULI 1959 – 11 MARET 1966
Tahun 1955 merupakan tonggak sejarah baru dalam sistem
pemerintahan di Negara indonesia, yang mana telah diadakan pemilihan umum yang
pertama kali dengan cara demokratis dan terbuka dengan diikuti oleh
partai-partai politik yang beragam aliran baik dari [artai yang beraliran
ideologis agama, religious, nasionalis, sampai aliran sosialis dapat berperan
dengan damai dan terbuka.[1]
Dan
partisipasi rakyat sebagai masyarakat yang sadar politik dapat menjadi
konstituen yang sangat antusias dalam menyambut pesta demokrasi tahun 1955 itu.
Dari hasil pemilu 1955 tersebut, maka untuk merumuskan, menyusun, dan
menetapkan dasar Negara dan hukum dasar yang berfungsi sebagai konstiyusi baru
bagi kelangsungan NKRI ini. Tetapi tugas itu gagal diemban oleh majlis
konstituante disebabkan adanya perdebatan yang sengit dalam siding-sidang
konstituante karena perdebatan ideologis dan kepentingan kelompok yang tidak
dapat dikompromikan oleh anggota konstituante tersebut.
Dengan
kegagalan itu maka tanggal 5 juli 1959, presiden Soekarno mengeluarkan
keputusan yang sangat dikenal dengan sebutan Dekrit presiden 5 Juli 1959. Yang
isinya antara lain:
a. Membubarkan majlis konstituante
b. Menetapkan kembali berlakunya UUD 1945 menjadi hukum
dasar dalam penyelenggara ketatanegaraan republic indonesia dan menyatakan
tidak berlakunya UUDS 1950.
Dengan
dekrit presiden 5 Juli 1959, maka berlaku kembali UUD 1945. Dengan demikian
rumusan dan sistematika pancasila tetap seperti yang tercantum dalam membukaan
UUD 1945 alinea keempat.
Untuk
mewujudkan pemerintahan Negara berdasarkan UUD 1945 dan pancasila dibentuklah
alat-alat perlengkapan Negara.
1. Presiden Menteri-menteri
Dengan berlakunya
kembali UUD 1945, presiden yang sebelumnya berlaku sebagai kepala negara, maka
selanjutnya juga sebagai kepala pemerintahan. Pada tanggal 10 Juli 1959
presiden Soekarno diambil sumpahnya sebagai presiden menurut UUD 1945 dan
bersamaan dengan presiden mengmumkan susunan dan nama-nama menteri dan kabinet
baru.
Menteri tersebut sebagai pembantu
presiden, diangkat dan diberhentikan oleh presiden dan tidak bertanggungjawab
kepada DPR, melainkan kepada presiden.
2. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
(DPR-GR)
Menunggu disusunnya DPR
berdasarkan pasal 19 UUD 1945, maka DPR berdasarkan hasil pemilu tahun 1955
melalui penetapan presiden (penres) No. 1 Tahun 1959 sementara tetap
menjalankan tugas-tugas DPR menurut UUD 1945.
Tetapi kenyataannya DPR tidak
memenuhi harapan presiden. Sehingga dikeluarkan penres No. 3 tahun 1960 tentang
pembaruan susunan DPR, yang berisi :
a. Penghentian pelaksanaan tugas pekerjaan
anggota DPR
b. Pembaruan susunan DPR berdasarkan UUD
1945 pada waktu sesingkat-singkatnya.
c. Penres mulai berlaku tanggal 5 Maret
1960
3. Majlis permusyawaratan rakyat sementara
(MPRS)
Selain
pembentukan DPR-GR untuk merealisasikan dekrit dikeluarkan juga penres No. 2
Tahun 1959 tentang majlis permusyawaratan rakyat dan peraturan presiden No. 12
Tahun 1960 tentang susunan majlis permusyawaratan rakyat sementara (MPRS).
Menurut penetapan presiden No. 2
Tahun 1959 tentang majlis permusyawaratan rakyat sebagai berikut :
a. Sebelum tersusun MPR menurut pasal 2
ayat (1) UUD 1945, maka dibentuk MPRS yang terdiri dari anggota DPR yang
dimaksud dalam penetapan presiden No. 1 Tahun 1959 ditambah dengan
putusan-putusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan.
b. Jumlah anggota MPRS ditetapkan presiden.
4. Dewan Petimbangan Agung Sementara (DPAS)
Melengkapi alat
perlengkapan negara sebagaimana dimaksud dekrit 5 Juli 1959, bahwa harus
dibentuk dewan pertimbangan agung sementara :
a. Anggota DPAS diangkat dan diberhentikan
oleh presiden
b. Jumlah anggota DPAS ditetapkan oleh
presiden
c. Anggota DPAS diangkat dari :
golongan-golongan politik, golongan-golongan karya, orang-orang yang dapat mengemukakan
persoalan daerah, dan tokoh-tokoh nasional.
5. Pelaksanaan UUD 1945
Walaupun semenjak
dekrit 5 Juli 1959 dinyatakan kembali kepada UUD 1945, tetapi tidak praktik
ketatanegaraan hingga tahun 1966 ternyata belum pernah melaksanakan jiwa dan
ketentuan UUD 1945. Dengan kata lain dalam kontek ketatanegaraan pelaksanaan
UUD 1945 terjadi beberapa penyimpangan antara lain :
a. Pelaksanaan demokrasi terpimpin, dimana
presiden membentuk MPRS dan DPAS dengan penres No. 2 Tahun 1955 yang
bertentangan sistem pemerintahan presidensil sebagaimana dalam UUD 1945
b. Penentuan masa jabatan presiden seumur
hidup, hal ini tentunya bertentangan dengan pasal UUD yang menyebutkan bahwa
masa jabatan presiden adalah 5 Tahun dan setelahnya dapat dipilih kembali.
c. Berdirinya partai komunis indonesia yang
berhaluan ateisme, hal ini bertentangan dengan falsafah bangsa indonesia yang
tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yang pada sila pertama.
d. Adanya kudeta dari PKI dengan gerakan 30
Septembernya yang jelas-jelas akan membentuk negara komunis indonesia, hal ini
merupakan penyimpangan terbesar terhadap UUD 1945.
6. Surat Perintah 11 maret 1966
Menyingkapi kondisi
ketatanegaraan yang tidak beraturan, memunculkan tuntutan rakyat yang dikenal
dengan tritura yaitu :
a. Pelaksanaan kembali secara murni dan
konsekuen pancasila dan UUD 1945
b. Pembubaran partai komunis indonesia
c. Penurunan harga barang
Menurut
surat perintah 11 Maret 1966 diperintahkan kepada Letjen Soeharto selaku
menteri/ panglima angkatan darat untuk atas nama presiden/ panglima tertinggi/
pemimpin besar revolusi yang melaksanakan UUD.
7. Dasar Hukum Surat Perintah 11 Maret 1966
Konsideran surat pemerintah 11
Maret 1966 menyatakan :
a. Perlu adanya ketenangan dan kestabilan
pemerintahan dan jalan revolusi
b. Pelu adanya jaminan keutuhan pemimpin besar
revolusi, ABRI, Dan rakyat untuk memelihara kepentingan dan kewajiban presiden/
panglima tertinggi/ pemimpin besar revolusi/ Mandataris MPRS serta
ajaran-ajarannya.
Melalui
konsideran surat perintah 11 Maret 1966, dapat dipahami secara jelas apa yang
menjadi dasar hukum dikeluarkannya surat perintah tersebut.[2]
B. Periode 11 Maret 1966 – 19 Oktober 1999
Untuk
melaksanakan amanat surat 11 Maret 1966, maka pada tanggal 12 Maret 1966,
melalui keputusan No. 1/3/1966 dibubarkan PKI termasuk bagian-bagian organisasinya
dari tingkat pusat sampai kedaerah-daerah beserta semua organisasi yang seasas/
berlindung/ bernaung dibawahnya. Selanjutnya, dilakukan pengamanan bebrapa
menteri dari kabinet Dwi Kora yang dianggap pada indikasinya tersangkut dalam
peristiwa G 30 S/PKI atau setidaknya diragukan akan iktikat baiknya dalam
membantu presiden.
Peristiwa
G 30 S/PKI setelah mengorbitkan Letjen Soeharto sebagai figur baru dalam
sejarah ketatanegaraan. Melalui prosedur konstitusional dengan ketetapan MPRS
No. IX/MPRS/1966 Letjen Soeharto diangkat menjadi pejabat presiden pada tanggal
27 Maret 1968 Letjen Soeharto dilantik dari pejabat presiden menjadi presiden
RI.
Selanjutya
dalam beberapa kali pemilu Soeharto dipertahankan menjadi presiden melalui
ketetapan MPR, antara lain : Tap MPR No. IX/MPR/1973 Hasil pemilu 1971, Tap MPR
No. X/MPR/1978 hasil pemilu 1977, Tap
MPR No. VI/MPR/1983 hasil pemilu 1982, Tap MPR No. V/MPR/1988 hasil pemilu
1987, Tap MPR No. IV/MPR/1993 hasil pemilu 1992, dan Tap MPR No. IV/MPR/1998
hasil pemilu 1997.
1.
Orde Baru dalam Kisah Sejarah
Perjalanan
ketatanegraan di bawah rezim soeharto diakhir-akhir kekuasaannya telah
melahirkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan kepada golongan wong cilik diberbagai bidang kehidupan berbangsa dan
bernegara. Di bidang hukum, alih-alih membatasi kekuasan, hukum justru
digunakan untuk memupuk kekuasaan dan kekayaan pribadi.
Persoalan
utama dari Negara hukum indonesia terletak pada aturan dasar Negara indonesia
yaitu UUD 1945. MPR hadir sebagai parlemen super, yang mempunyai kekuasaan tak
terbatas; presiden tidak hanya menjalankan kekuasaan pemerintahan, tetapi juga
memegang kekuasaan membuat undang undang; perlindungan hak asasi manusia sangat
minim.
Presiden
soeharto memanfaatkan betul kelemahan UUD 1945 itu. Dengan menguasai proses
rekruitmen MPR, melalui rekayasa undang-undang susunan dan dedudukan parlemen.
Tidak hanya forum dan mekanisme hukum untuk menginterpretasi aturan konstitusi,
menyebabkan kekuasan nyata soeharto semakin lepas kendali. Pada kenyataannya,
interpretasi soeharto atas konstitusilah yang berlaku. Salah satu akibatnya,
proses suksesi presiden, sebagai syarat lahirnya kepemimpinan yang demokratis,
tidak berjalan.[3]
2.
Transisi Menuju Demokrasi
Transisi menuju demokrasi sejak jatuhnya presiden
soeharto agaknya tidak mungkin lagi dimundurkan (point of no return).
Perubahan indonesia menuju demokrasi jelas sangat dramatis, indonesia mengalami
liberalisasi politik dan demokratisasi.
Presiden
B.J. Habibie dalam interregnumnya memperkuat momentum transisi indonesia
menuju demokrasimelalui berbagai kebijakan sejak dari penerapan multipartai ,
pemilu 1999 yang dinilai paling demokratis sejak indonesia medeka sampai pada
kebebasan pers dan meningkatnya fungsi check and balances DPR.
Tetapi,
pada saat yang sama pertumbuham demokrasi atau transisi indonesia menuju
demokrasi, juga menimbulkan banyak kegamangan dan kecemasan.Keadaan demikian
berimbas pada keberadaan presiden yang nilai MPR hasil pemilu 1999 “tidak
berhasil”. Terbukti pertanggungjawaban presiden B.J. Habibie yang diucapkan /
disampaikan dihadapan rapat paripurna ke-8 tanggal 14 oktober 1999 dan jawaban
presiden atas pemandangan umum fraksi-fraksi terhadap pidato pertanggungjawaban
presiden pada rapat paripurna ke-11 tanggal 17 oktober 1999 sidang umum MPR RI
tanggal 14-21 oktober 1999, ditolak.[4]
C. Periode 19 Oktober 1999 Sampai Sekarang
Mewujudkan
amanat revormasi perlu adanya pembenahan dan penataaan kembali terhadap sistem
ketatanegaraan dan pemerintahan negara.
Berangkat
dari kesadaran bahwa, masalah uta,a negara hukum indonesia adalah UUD 1945 yang
bersifat Otorian, maka agenda utama pemerintahan pasca Soeharto adalah revormasi
konstitusi. Maka, lahirlah beberapa amandemen terhadap UUD 1945, yaitu :
1. UUD 1945 dan perubahan I (19 Oktober
1999 smapai 18 Agustus 2000)
2. UUD 1945 dan perubahan I dan II (8
Agustus 2000 sampai 9 November 2001)
3. UUD 1945 dan perubahan I, II, III (19 November
2001 sampai 10 Agustus 2002)
4. UUD 1945 dan perubahan I, II, III, IV
(10 Agustus 2002 sampai sekarang)
Dasar
hukum sisitem pemilu diatur, setelah sebelumnya sama sekali tidak disebutkan
dalam UUD 1945. Akuntabilitas anggota parlemen diharapkan semakin
tinggi, karena semua anggota DPR dan DPD dipilih langsung oleh rakyat. Pemilu
langsung juga diterapkan bagi presiden dan wakil presiden. Periodisasi lembaga
kepresidenan dibatasi secara tegas. Seorang hanya dapat dipilih sebagai
presiden maksimal dalam dua kali periode jabatan. Namun, kontrol partai politik
yang memonopoli pengajuan calon presiden dan wakil presiden, merupakan salah
satu unsur yang mengurangi nilai kelangsungan pemilihan presiden oleh rakyat.
Dalam hal perlindungan (HAM), amandemen UUD 1945
memberikan jaminan yang jauh lebih komprehensif dibandingkan dengan aturan
sebelum amandemen. Dengan demikian secara umum amandemen UUD 1945 lebih
memberikan dasar konstitusi bagi lahir dan tumbuhnya Negara hukum indonesia
dalam sistem ketatanegaraan kedepan.
Satu hal yang perlu dicatat, bahwa amandemen UUD 1945
ini hanya dilakukan terhadap batang tubuh UUD 1945 tetapi tidak dilakukan
terhadap pembukaan UUD1945. Terdapat asumsi bahwa mengamandemen terhadap
pembukaan UUD pada dasarnya akan mengubah negara indonesia yang diproklamasikan
pada tanggal 17 agustus 1945. Karena pembukaan UUD 1945 pada hakekatnya adalah
jiwa dan ruh Negara proklamasi. Dengan tidak diubahnyapembukaan UUD 1945, maka
sistematika dan rumusan pancasila tidak mengalami perubahan.[5]
Kesimpulan
Pada tahun 1949 ketika bentuk Negara republic
indonesia diubah menjadi serikat, diadakan pergantian konstitusi dari UUD 1945
ke konstitusi republik serikat tahun 1945. Demikian pula pada tahun 1950,
ketika bentuk Negara diubah lagi dari bentuk Negara serikat menjadi Negara
kesatuan, konstitusi RIS 1949 diganti dengan UUDS tahun 1950. Setelah
konstituante terbentuk, diadakan persidangan tahun 1956 sampai tahun 1959,
dengan maksud menyusun UUD yang bersifat tetap. Akan tetapi, sejarah mencatat
bahwa usaha ini gagal diselesaikan sehingga pada tanggal 5 Juli 1959, persiden
Soekarno mengeluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959. UUD Republik Indonesia tahun
1945 sebagaimana terakhir diubah pada tahun 1999, 2000-2002 merupakan satu kesatuan
rangkaian perumusan dasar hukum indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar